Keraton Yogyakarta dalam Rekam Jejak Kekuasaan

Keraton Yogyakarta dalam pusaran peradaban, menuju keraton milenial tanpa meningggalkan akar sejarahnya.
Keraton Yogyakarta yang tahun ini berusia 273 tahun. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Yogyakarta - Tanggal 7 Maret, 31 tahun yang lalu, tepatnya 1989, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Mangkubumi dinobatkan sebagai Raja Kasultanan Keraton Yogyakarta yang ke-10 dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X. Rangkaian Tingalan Jumenengan Dalem Sri Sultan HB X digelar dengan kemeriahan.

Puncaknya berupa pameran bertajuk Abala Kuswa yang dipusatkan di Pagelaran Keraton pada Sabtu 7 Maret 2020 malam. Pameran ini menghadirkan pakaian kebesaran para raja Keraton Yogyakarta yang sarat dengan rekam jejak kekuasaan. 

"Abala Kuswo bermakna rangkaian busana kebesaran. Tajuk ini dipilih menjadi ruh dari pameran karena erat dengan rekam jejak kekuasaan," ujar Ketua Panitia Tingalan Jumenengan Dalem Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hayu.

Menurut GKR Hayu, busana menjadi ruang ekspresi politik bagi setiap periode kekuasaan. Para bangsawan memakai busana sebagai penentu identitas dan strata sosial. Kondisi tersebut kerap ditemui di Ndalem Pangeran pada masa pemerintahan Sri Sultan HB VI hingga Sri Sultan HB VIII.

Pada peringatan 31 tahun bertakhta itu, Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan HB X mengungkapkan, dengan segenap daya-mampu, akan tetap menyalakan api semangat yang memancar dari nama penuh makna itu, lebih dari sekedar pewaris takhta dan kedudukan seorang Sultan serta Gubemur saja.

Sri Sultan mengakatan melalui pameran busana, akan mengungkap banyak matra busana tradisional keraton. Selain mengacu pada hal teknis juga merekam jejak sejarah terjadinya akulturasi peradaban dengan wastra Eropa. Warisan busana berikut naskahnya dilakukan digitalisasi agar mudah terbaca dan menarik bagi generasi milenial.

Keraton Yogyakarta kini sudah berusia 273 tahun. Keberadaannya tidak bisa dilepaskan dengan sejarah Islam masuk ke Tanah Jawa melalui dakwah budaya yang dibawa Wali Sanga. Islam Rahmatan Lil Alamin yang penuh kedamaian harus ditonjolkan. Keberadaan Keraton Yogyakarta tersebut, merupakan cikal bakal keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang masih berlaku hingga saat ini.

Keraton Yogyakarta memiliki luas sekitar 14.000 meter persegi, dengan beberapa bagian di dalamnya. Sebagai pusat pemerintahan dan kediaman raja beserta keluarganya, keraton dilindungi dua lapis tembok, yakni tembok cepuri yang mengelilingi kedhaton, atau kawasan keraton, dan tembok di bagian luar yang lebih kuat dan luas, yaitu tembok Baluwarti.

Tembok Baluwarti juga disebut sebagai beteng atau benteng. Tembok ini mengelilingi kawasan tempat tinggal kerabat Sultan dan abdi dalem. Tembok Baluwarti didesain dan dibangun pada masa pemerintahan Sri sultan Hamengku Buwono I (1755-1792). Bentuknya mirip persegi empat, namun lebih besar bagian timur.

Dari timur ke barat tembok ini memiliki panjang 1200 meter, sedang arah utara ke selatan 940 meter. Benteng di sisi timur keraton diperpanjang ke utara sejauh 200 meter. Keraton Yogyakarta diapit oleh dua lapangan, yang disebut alun-alun, yakni Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan.

Tarian Fragmen Golek MenakTarian Fragmen Golek Menak dengan lakon Jayengrana Jumeneng Nata dalam Tingalan Jumenengan Dalem, di Pagelaran Keraton Yogyakarta pada Sabtu, 7 Maret 2020.

Pengakuan Belanda dan Jepang

Pengakuan keistimewaan Yogyakarta sendiri berawal sejak masa pendudukan Jepang. Saat itu, Yogyakarta diakui sebagai Daerah Istimewa atau Kooti, dengan Koo sebagai kepalanya, yakni Sri Sultan HB IX. Di bawah Kooti, secara struktural ada wilayah-wilayah pemerintahan tertentu dengan para pejabatnya.

Sebelum masa pendudukan Jepang, pada zaman kolonial Belanda, ada kontrak politik antara Jepang dengan pemerintahan di Kasultanan Yogyakarta, yang dilakukan pada tahun 1877, 1921, dan 1940. Kontrak politik terakhir Kasultanan Yogyakarta tercantum dalam Staatsblaad 1941 Nomor 47, sedangkan kontrak politik Kadipaten Pakualaman dalam Staatsblaad 1941 Nomor 577.

Kontrak politik itu menunjukkan bahwa Pemerintah Hindia Belanda mengakui Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman sebagai kerajaan yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga pemerintahannya sendiri, yang dikenal dengan istilah zilfbesturende landschappen. Keraton tidak tunduk begitu saja kepada Belanda.

Dari laman resmi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DIY disebutkan, setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII menyatakan kepada Presiden RI bahwa Daerah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Daerah Kadipaten Pakualaman menjadi wilayah Negara RI, bergabung menjadi satu kesatuan yang dinyatakan sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Kemudian, terbitlah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagai respons atas eksistensi DIY dan juga merupakan pengakuan kewenangan untuk menangani berbagai urusan dalam menjalankan pemerintahan serta urusan yang bersifat khusus.

Undang-Undang ini telah diubah dan ditambah, dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1819) yang sampai saat ini masih berlaku.

Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa DIY merupakan daerah setingkat provinsi dan meliputi bekas Daerah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Daerah Kadipaten Pakualaman. Pada setiap Undang-Undang yang mengatur Pemerintahan Daerah, dinyatakan keistimewaan DIY tetap diakui.

Bangga Menjadi Warga Yogyakarta

Keistimewaan Yogyakarta saat ini, masih menjadi kebanggaan untuk warganya. Seperti yang disampaikan oleh Dwi Astuti, 41 tahun.

Siang itu cuaca cukup cerah, setelah sejak pagi mendung membayangi. Beberapa wisatawan berbaris rapi memasuki gerbang keraton yang berwarna hijau tua.

Beberapa penjual cinderamata dan oleh-oleh khas Yogyakarta, duduk di bawah rindangnya pohon beringin di sekitar keraton. Sebagian menawarkan kacamata dan tongkat narsis (tongsis) pada pengunjung.

Suara tapal kuda yang beradu dengan aspal, seperti bersaing dengan tawa para pengunjung yang berswafoto di depan gerbang keraton.

Hadeging Keraton YogyakartaPuncak acara peringatan Hadeging Keraton Yogyakarta ke-237 tahun, atau 237 tahun berdirinya Keraton Yogyakarta, Sabtu, 25 Januari 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Seorang ibu berjilbab, Dwi Astuti, tampak berbeda dengan mayoritas pengunjung. Dari penampilannya, bisa ditebak bahwa dia bukan wisatawan yang ingin berekreasi ke keraton. Penampilannya sederhana dan tanpa polesan make up.

Jemari tangan kirinya menggandeng seorang anak berusia lima tahunan. Sepertinya dia sekedar melintas di tempat itu.

Dwi mengaku dia merupakan warga asli Yogyakarta dan bangga dengan predikat istimewa yang disandang oleh tanah kelahirannya. Dia menilai bahwa keistimewaan Yogyakarta bukan hanya dari keraton saja, tapi dari masyarakatnya yang ramah.

Bahkan kata dia, keistimewaan Yogyakarta, bukan hanya dirasakan oleh warga Yogyakarta sendiri, tapi juga oleh para pendatang.

"Saya punya teman dari Jakarta, di pernah beberapa waktu tinggal di Jogja. Setelah itu, dia mau tinggal di Jogja karena katanya warga Jogja ramah dan nyaman tinggal di sini," jelasnya, Sabtu, 25 Januari 2020.

Menurutnya, suasana di Yogyakarta juga seperti memiliki kekuatan untuk dirindukan oleh orang-orang yang pernah menetap meski tak lama. Dia mencontohkan, orang-orang yang pernah atau sekolah di Yogyakarta.

Senada dengan Dwi, seorang warga Yogyakarta lainnya, Wiwik, 39 tahun, mengaku sangat bangga menjadi warga Yogyakarta dan bagian dari keistimewaannya.

"Ha iyes (iya), Mas. Kudu bangga dadi wong Jogja (harus bangga jadi orang Jogja)," ucapnya mantap.

Menurutnya, keistimewaan Yogyakarta bukan sekadar dari budaya, tetapi juga sikap bersahabat dari warganya, yang tidak ditemukan di daerah lain.

Perempuan yang mengaku pernah tinggal di Surabaya selama beberapa tahun ini, mengakui bahwa masyarakat di beberapa daerah lain juga bersahabat, tetapi ada sesuatu yang berbeda dan tidak bisa diungkapkan tentang kekhasan warga Yogyakarta.

"Suasananya juga beda. Pokoke (pokoknya) Jogja ki diciptakan saat Tuhan sedang jatuh cinta. Deloken dewe, hampir setiap sudut Jogja ki romantis dan ra iso dilalekke (lihat saja sendiri, hampir setiap sudut Jogja itu romantis dan tidak bisa dilupakan)," tuturnya.

Wiwik juga berpendapat bahwa keistimewaan Yogyakarta harus terus berlanjut sampai kapan pun. Karena, dari sejarah yang diketahuinya, sebenarnya dulu Keraton Yogyakarta merupakan kerajaan tersendiri, tetapi kemudian bergabung dengan NKRI atas kebesaran hati sultan saat itu.

"Sebetulnya dulu kan kerajaan, punya pemerintahan sendiri. Cobane biyen ra gabung karo Indonesia, wong luar Jogja kudu nganggo paspor nek arep weruh Malioboro (Coba dulu tidak bergabung dengan Indonesia, orang dari luar Jogja harus menggunakan paspor jika ingin melihat Malioboro)," candanya.

Mempertahankan Jogja Istimewa

Keistimewaan yang disandang oleh Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), bukan hadiah, dan harus terus diperjuangkan dengan konsistensi dan komitmen yang sama. Sejarawan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Margana, menjelaskan hal itu, Kamis, 23 Januari 2020.

Menurut Margana, keistimewaan yang disandang oleh Yogyakarta, diperoleh bukan atas apa yang dilakukan untuk diri sendiri, atau untuk Yogyakarta sendiri, tetapi atas apa yang telah dilakukan terhadap bangsa dan negara.

Warga YogyakartaSeorang warga Yogyakarta, Wiwik, 35 tahun, mengaku bangga dengan keistimewaan Yogyakarta. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

"Keistimewaan bukan hadiah tapi harus terus diperjuangkan dengan konsistensi dan komitmen yang sama," tegasnya melalui pesan Whatsapp.

Yogyakarta, kata dia, juga harus menjadi leading force atas wilayah lain, khususnya dalam komitmennya membangun bangsa dan negara.

Mengenai masih layak atau tidaknya Yogyakarta dengan status daerah istimewa, Margana menyatakan masih layak. Hanya saja, implementasinya harus terus dikaji dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat luas.

"Mungkin pertanyaannya bukan soal layak dan tidak layak, tapi kita punya beban dan kewajiban historis mempertahankan keistimewaan yang dirintis oleh Sultan HB IX," jelasnya.

Untuk menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat serta mempertahankan keistimewaan Yogyakarta, harus ada gebrakan yang visioner untuk mengantisipasi persoalan-persoalan ke depan. Misalnya masalah transportasi umum di perkotaan, juga masalah intoleransi yang semakin meluas.

"Yang terakhir itu (intoleransi), kalo tidak segera diatasi bisa merusak makna keistimewaan itu sendiri," tambahnya mengingatkan.

Sri Sultan HB X sebagai Raja Keraton Ngayogyakarta Hadinongrat, diyakininya mampu untuk menyelesaikan masalah-masalah intoleransi itu, jika Sultan berkenan.

Mengenai kepatuhan masyarakat terhadap titah Sultan sebagai raja, Margana menyatakan, kharisma pemimpin terbentuk atas apa yg dilakukan untuk masyarakat banyak, juga atas kecintaan pemimpin terhadap rakyatnya.

"Seperti jelas-jelas dilakukan HB IX dulu. Juga atas bangsa dan negara. Kalau perintah itu berpihak pada kepentingan rakyat, bangsa dan negara pasti diatuhi. Kalau untuk kepentingan pribadi tentu wajar kalau ada yang tidak setuju," paparnya.

Terlebih, Yogyakarta juga punya modal politik yang sangat besar, yakni secara politik lebih stabil karena tidak perlu pilkada gubernur. Modal politik yang stabil ini akan sia-sia kalau tidak digunakan secara maksimal untuk membuat gebrakan besar.

Margana membenarkan bahwa ada perbedaan antara keistimewaan Yogyakarta saat ini dan dulu, karena tentunya selalu disesuaikan dengan perkembangan dan persoalan ke depan. Terlebih dengan adanya dana keistimewaan untuk Yogyakarta.

Seluruh masyarakat Yogyakarta, harus ikut memainkan peran penting mengatasi persoalan keindonesiaan. Karena dana keistimewaan Yogyakarta dihimpun daribmasyarakat Indonesia secara keseluruhan.

"Kita harus kembalikan pada masyarakat kembali, dalam berbagai komitmen keindonesiaan. Kita orang Jogja diberi sesuatu yang lebih, "istimewa" atas apa yang dilakukan masyarakat Jogja dan pemimpinnya di masa lalu bagi Indonesia. Kewajiban kita meneruskan tugas itu ke depan untuk bisa dianggap tetap istimewa," urainya.

Pada saat yang sama, masyarakat yang memanfaatkan dana keistimewaan, juga harus konsisten dengan pertanggungjawabannya. "Ada baiknya sebagian dana keistimewaan dipakai untuk memberi beasiswa agar anak-anak Jogja dapat meneruskan studi sampai level tertinggi," imbuhnya.

Hanya saja, kata dia, sekarang banyak lembaga pemerintah di Yogyakarta yang bingung menyusun program untuk menyerap dana keistimewaan. Hal ini karena kurangnya komunikasi dengan masyarakat

Solusinya, perlu masukan dari masyarakat secara tertulis dan konstruktif, khususnya perguruan tinggi, umumnya masyarakat dan komunitas.

Pemerintah pusat pun menurutnya juga perlu memberikan guidlines agar dana keistimewaan dimanfaatkan untuk kepentingan lebih luas, dan masyarakat bisa mengawasi bersama sama pemanfaatannya. []

Baca Juga:

Berita terkait
Takhta untuk Rakyat dan Lima Pesan Sri Sultan HB IX
Sri Sultan HB X merayakan 31 tahun naik takhta Keraton Yogyakarta. Dia memegang teguh 5 pesan dari mendiang ayahanda Sri Sultan HB IX.
Keraton Yogyakarta Setelah Meja Sultan HB VIII Rusak
Keraton Yogyakarta tidak melarang wisatawan selfie atau memotret usai kejadian meja Sultan HB VIII rusak akibat ulah wisatawan yang sedang selfie.
Garebeg Besar, Tradisi Idul Adha Keraton Yogyakarta
Keraton Yogyakarta kembali menggelar tradisi Garebeg Besar jelang peringatan Hari Raya Idul Adha 2019.
0
Hasil Pertemuan AHY dan Surya Paloh di Nasdem Tower
AHY atau Agus Harimurti Yudhoyono mengaku sudah tiga kali ke Nasdem Tower kantor Surya Paloh. Kesepakatan apa dicapai di pertemuan ketiga mereka.