4 Fakta Omnibus Law Diperlukan di Indonesia

Mengapa Omnibus Law diperlukan di Indonesia? Ada beberapa fakta kenapa Omnibus Law ini sangat diperlukan.
Presiden Joko Widodo menggelar rapat terbatas di Jakarta, Rabu, 15 Januari 2020, membahas penyelesaian Omnibus Law. (foto: Tagar/Popy Sofy).

Omnibus berasal dari bahasa latin omnis yang bermakna for everything atau untuk segalanya. Sehingga Omnibus Law atau Omnibus Bill berarti undang-undang yang berisi sejumlah topik yang beragam untuk diusulkan sebagai dokumen tunggal kepada legislatif dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengubah atau mengamandemen beberapa UU sebelumnya secara sekaligus.

Presiden Jowo Widodo mulai menyebutkan perihal Omnibus Law ini pertama kali setelah pelantikan Presiden pada Oktober 2019 yang lalu sebagai salah satu agenda strategis yang akan dicapai oleh pemerintah.

Omnibus Law akan menyasar 3 hal penting dalam undang-undang yaitu Perpajakan, Cipta Kerja, dan Pemberdayaan UMKM. Dan UU ini akan merevisi 79 undang-undang dengan 1.203 pasal sekaligus. Itulah kenapa sering disebut sebagai undang-undang sapu jagat.

Mengapa Omnibus Law diperlukan di Indonesia?

Untuk menyelesaikan permasalahan tumpang tindih peraturan dan undang-undang yang pada akhirnya merugikan negara kita sendiri, karena menghambat investasi dan bertujuan juga untuk penciptaan lapangan pekerjaan untuk rakyat Indonesia.

Apa saja fakta yang terjadi dan merugikan iklim investasi di Indonesia?

Fakta pertama, mengenai perizinan untuk usaha yang dapat memakan waktu hingga 3 tahun, waktu yang cukup lama. Anda bisa bayangkan, kalau itu perusahan Anda, dan dalam waktu 3 tahun harus bolak balik ke Indonesia hanya untuk perizinan dan terus mengeluarkan uang tanpa pasti apakah bisa mulai beroperasi.

Bahkan seringkali lamanya waktu mengurus perizinan ini bisa bervariasi antar provinsi maupun kabupaten/kota. Misalnya ada perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan mengurus Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) , ternyata ada provinsi yang satu tahun sudah selesai, ada yang dua tahun baru selesai, ada yang tiga tahun tidak juga selesai, jelas ini menghambat investasi.

Contoh kasus riil terjadi di Cilegon, Provinsi Banten yang dialami oleh Lotte Chemical, perusahaan yang bergerak di industri petrochemical. Lotte membutuhan waktu 4 tahun dari mulai mengurus izin hingga akhirnya baru bisa groundbreaking. Anda bisa bayangkan selama 4 tahun perusahaan terus mengeluarkan uang tanpa jelas kapan dapat memperoleh izin. Tentu kejadian ini tidak hanya terjadi sekali, namun di banyak perusahaan. Sehingga setiap investor global yang hendak masuk ke Indonesia terpaksa berpikir ulang karena mendengar kejadian ini dan memilih negara lain menjadi tujuan investasi mereka.

Dan memang faktanya demikian, dimana ketika perang dagang antara AS dan Cina terjadi, ada 33 perusahaan yang angkat kaki dari Cina dan ternyata 23 dari mereka memilih Vietnam sebagai destinasi yang paling ramah dengan Investor di Asia Tenggara, dan sisanya 10 ke Malaysia, Thailand, Kamboja. Tidak satupun ke Indonesia.

Fakta yang kedua adalah, informasi dari Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, sudah ada investasi dengan total nilai Rp 2.200 Triliun yang siap dan sudah diajukan ke Presiden Jokowi, namun tidak kunjung masuk ke Indonesia karena lamanya perizinan, dan naiknya biaya dari sisi ketenagakerjaan setiap tahunnya.

Artinya jika kita terus menjalankan business as usual, maka tidak akan ada yang investor yang mau masuk ke Indonesia.

Fakta yang ketiga adalah kenaikan upah minimum yang tinggi namun tidak diikuti dengan kenaikan produktivitas pekerja. Sebagai gambaran, tahukah Anda bahwa upah minimum Kabupaten Karawang Rp 4,59 juta di 2020 sudah melampaui DKI Jakarta yang Rp 4,26 juta? Kabupaten Karawang termasuk provinsi Jawa Barat, dan Upah Minimum Jawa Barat sendiri adalah Rp 1,8 juta.

Japan External Trade Organization (JETRO) melaporkan hasil survei dari perusahaan-perusahaan Jepang yang berada di 20 negara atau wilayah, diantaranya 5 negara di Asia Timur, 9 negara di Asia Tenggara, 4 negara di Asia Barat, dan 2 negara di Oseania.

Ada beberapa data yang menarik dalam laporan tersebut seperti masalah infrastruktur yang kurang sejak 2009, namun masalah tersebut tidak muncul lagi di 3 besar di tahun 2018. Masalah tenaga kerja yang pada tahun 2009 dianggap murah oleh 45,8% responden, namun pada 2018 hanya 23,8% responden yang berpendapat demikian.

Fakta keempat, mengapa pemerintah sebegitu getolnya mengejar investasi masuk ke Indonesia? Ternyata, ada sekitar 7 juta masyarakat Indonesia di usia kerja yang masih belum mendapatkan pekerjaan (pengangguran), dan seharusnya itu adalah hak dari warga negara untuk memperoleh hidup layak dan memperoleh pekerjaan. Selama ini dengan pertumbuhan ekonomi 5%, hanya menciptakan lapangan kerja sekitar 2 juta - 2,5 juta.

Mempersiapkan Indonesia Menuju 2030

Melanjutkan catatan dari Bloomberg pada September 2019, bahwa berdasarkan proyeksi jangka panjang Produk Domestik Bruto (PDB) hingga tahun 2030, yang dirilis oleh Standard Chartered Plc menyatakan bahwa akan ada 7 negara berkembang menjadi negara dengan ekonomi 10 terbesar di dunia.

Peringkat yang dibuat oleh Standard Chartered Plc ini mengacu pada nominal PDB yang didorong oleh Purchasing Power Parity (PPP). Posisi pertama akan diduduki oleh Cina sebagai negara dengan ekonomi terbesar yang mengalahkan Amerika Serikat dengan nominal PDB sebesar 64,2 triliun dolar AS. GDP Cina berhasil naik 4,5 kali dibanding tahun 2019. Peringkat kedua adalah negara India dengan PDB sebesar 46,3 triliun dolar AS. Barulah di peringkat ketiga dan keempat adalah Amerika Serikat dan Indonesia.

Amerika Serikat turun ke peringkat ketiga dibanding tahun 2020 ini karena hanya mencapai nominal PDB 31 triliun dolar AS, baik sekitar 45% dari GDP 2019. Sementara Indonesia diperkirakan akan naik 9,1 kali dari 2019 dan mencapai nominal PDB sebesar 10,1 triliun dolar AS. Di posisi ke 5 ada Turki, posisi ke 6 Brasil, lalu Mesir, Rusia, Jepang, dan posisi ke 10 Jerman.

Jika kita lihat komposisi dari 10 negara ini, maka di 2030, ekonomi Asia sudah mencapai 28% terhadap total Produk Domestik Bruto dunia.

Struktur RUU Omibus Law

Pemerintah saat ini sudah merumuskan dan membahas sejumlah RUU Omnibus Law, seperti:

1.RUU Cipta Kerja terdiri atas 174 Pasal

2.RUU tentang Perpajakan terdiri atas 23 Pasal

Dari RUU di atas, yang paling banyak mendapat sorotan adalah RUU Cipta Kerja yang terdiri atas 15 Bab, 174 Pasal dimana ada 163 Pasal Substansi.

Berdasarkan porsinya, berikut adalah pembagian struktur di RUU Cipta Kerja:

Omnibus LawPembagian struktur RUU Omnibus Law

Memang, jika dihitung berdasarkan porsinya, substansi atau topik terkait perizinan, kemudahan berusaha, investasi, dan UMK-M dan Koperasi mencakup sekitar 86,5% dari total pasal yang dirancang.

Namun walaupun hanya 5 pasal atau sekitar 3% yang terkait dengan ketenagakerjaan, namun karena menyangkut hidup layak buruh dan penghasilan masyarakat, maka substansi ini lebih sering dibahas di berbagai forum maupun media. []

*Yossy Girsang, Pengamat Ekonomi dan Pasar Modal
Tim Ekonomi Tagar

Berita terkait
DPR Buka Mata Perbaikan Omnibus Law Cipta Kerja
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad tetap membuka mata dari peran masyarakat untuk membantu revisi RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
PDIP Siapkan Tim Khusus Kaji Omnibus Law Cipta Kerja
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengaku akan membentuk tim khusus untuk mengkaji Omnibus Law Cipta Kerja.
Bara JP: Omnibus Law Untuk Membuka Lapangan Kerja 7 Juta Pengangguran
Ketua Umum Bara JP, Viktor S. Sirait, mengatakan sangat baik jika banyak masukan atau kritikan terhadap Rancangan Omnibus Law.
0
Dua Alasan Megawati Belum Umumkan Nama Capres
Sampai Rakernas PDIP berakhir, Megawati Soekarnoputri belum mengumumkan siapa capresnya di Pilpres 2024. Megawati sampaikan dua alasan.