Jakarta - Fortune setiap tahun rutin merilis daftar wanita-wanita paling berpengaruh di dunia. Para hawa ini mampu menyaingi kalangan adam, menduduki posisi teratas dalam perusahaan atau instansi. Diantara deretan wanita terkenal itu, ada nama Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati.
Perempuan masih banyak belum yang terwakili dalam dunia bisnis sebagai eksekutif perusahaan. Dari 500 perusahaan terbesar di dunia, hanya 13 yang menempatkan wanita sebagai top eksekutif.
Dalam daftar tahun ini, Fortune memasukkan 17 pendatang baru. Banyak diantaranya adalah top eksekutif pada perusahaan terkemuka di industri yang biasanya didominasi pria seperti pertambangan, industri baja, serta minyak dan gas, seperti bos Pertamina, Nicke Widyawati.
Dalam daftar 50 wanita paling berpengaruh di dunia, ada dari perusahaan startup. Saat ini banyak perusahaan rintisan itu mendunia dengan pertumbuhan yang pesat, paling inovatif dan bernilai tinggi.
"Tahun ini, kita tidak hanya melihat memegang tampuk kekuasaan, tapi juga mampu memberikan manfaat kepada masyarakat di tengah pandemi Covid-19," tulis Fortune.
Di daftar ini ada nama Emma Walmsley, CEO GlaxoSmithKline yang meraih posisi pertama sebagai wanita paling berpengaruh di dunia. Walmsley mengerahkan kekuatan sumber daya perusahaan farmasi GlaxoSmithKline untuk memerangi pandemi Covid-19, sambil mempertahankan bisnis farmasinya yang berkembang).
Di posisi kedua ada nama Jessica Tan, co-CEO dan Executive Director Ping An Group, perusahaan farmasi terbesar kedua di China. Ia memegang peranan penting dalam menangani wabah pandemi Covid-19.
Perempuan-perempuan lain yang masuk dalam daftar adalah mereka yang telah membuat kemajuan berarti dalam strategi keragaman atau dekarbonisasi. Fortune mendukung semakin banyak semakin banyak wanita yang masuk dalam daftar.
Berikut Tagar rangkum 10 wanita paling berpengaruh di dunia, plus Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati yang berada di posisi ke-16.
1. Emma Walmsley, CEO GlaxoSmithKline dari Inggris
Emma Walmsley sudah tiga tahun GlaxoSmithKline, perusahaan raksasa farmasi Inggris. Perusahaan ini memainkan peranan penting saat Inggris dan seluruh dunia terpapar pandemi virus Covid-19 yang berasal dari China.
Sebagai salah satu produsen vaksin dan obat pernapasan terkemuka di dunia, GSK berada di garis depan selama pandemi. GSK membantu upaya pengembangan vaksin perusahaan lain. Selain itu juga meningkatkan produksi obat-obatan penting seperti inhaler dan pereda nyeri, dan berkolaborasi untuk mengidentifikasi terapi yang efektif.
Emma Walmsley, CEO GlaxoSmithKline dari Inggris. (Foto: Tagar/Fortune/Emma Walmsley).
2. Jesicca Tan, Co-CEO and Executive Director Ping An Group dari China
Ping An merupakan perusahaan asuransi. Namun, selama pandemi, Jessica Tan ikut berperan dengan mengembangkan teknologi plus keuangan dengan platform telehealth Good Doctor.
Permintaan untuk platform telehealth Good Doctor melonjak ketika Covid-19 menyebar di China pada awal 2020. Pada paruh pertama tahun ini, Good Doctor mengalami peningkatan 26,7 persen, karena pasien menghindari rumah sakit dan perawatan langsung.
Jesicca Tan, Co-CEO and Executive Director Ping An Group. (Foto: Tagar/Fortune/Jessica Tan).
3. Ana Botin, Executive Chairman Banco Santander dari Spanyol
Ana Botin merupakan bos Bank Santander di Spanyol. Covid-19 tidak ramah kepada bank-bank Eropa, termasuk bank yang diambil alih oleh Botin dari mendiang ayahnya enam tahun lalu. Pada bulan Juli, Bank Santander melakukan penghapusan aset senilai 12,6 miliar euro (US$ 14,9 miliar).
Botin menyalahkan efek pandemi pada prospek ekonomi. Santander melaporkan kerugian kuartal pertamanya dalam sejarah 163 tahun bank Spanyol itu.
Ana Botin, Executive Chairman Banco Santander. (Foto: Tagar/Fortune/Ana Botin).
4. Helena Helmersson, CEO H&M Group dari Swedia
Helmersson masuk peringkat ke-4 dalam daftar wanita paling berpengaruh di dunia, setelah ditunjuk sebagai CEO perusahaan fashion H&M Group Januari 2020 menjelang pandemi. Ini merupakan tahun transformatif bagi perusahaan.
Grup fesyen, yang memiliki label termasuk Monki dan COS bersama megabrand H&M, terpaksa gerai-gerainya selama kebijakan penguncian global mulai berlaku. Pada triwulan II 2020, perusahaan mengumumkan 80 persen dari sekitar 5.000 tokonya di seluruh dunia tutup.
Helena Helmersson, CEO H&M Group. (Foto: Tagar/Fortune/Helena Helmersson).
5. Dong Mingzhu, Chairwoman and President Gree Electric Appliances, China
Pandemi telah menghantam peritel offline. Gree Electric Appliances pun ikut terpengaruh, penjualan merosot pada paruh pertama tahun 2020. Pendapatan keseluruhan turun 28 persen (YoY) dan pendapatan untuk produk utamanya, AC, turun 48 persen pada periode yang sama.
Dong Mingzhu sebagai CEO perusahaan bisnis paling stabil di China, berpacu dengan waktu. Ia melakukan inovasi dengan mengadakan acara streaming langsung untuk menjual produk disaat konsumen terjebak di rumah dan 30.000 diler Gree ditutup.

6. Amanda Blanc, CEO Perusahaan Asuransi Aviva dari Inggris
7. Martina Merz, CEO Thyssenkrupp, Jerman
8. Alison Rose, CEO Netwest Group, Inggris
9. Shemara Wikramanayake, CEO and Managing Director Macquarie Group, Australia
10. Belen Garijo, Deputy CEO; Vice Chair of the Executive Board; CEO, Healthcare; CEO Designate Merck KGaA, Jerman
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati. (Foto: Isntagram/@pertamina)
16. Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina, Indonesia
Sebagai CEO dan Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, perempuan kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 25 Desember 1967 ini mengawasi perusahaan dengan pendapatan tahunan lebih dari US$ 54,6 miliar dan sekitar 32.000 karyawan di seluruh dunia.
Nicke, seorang insinyur diangkat menjadi direktur utama Pertamina pada tahun 2018, menggantikan Elia Massa Manik yang diberhentikan di tengah upaya restrukturisasi.
Pemerintah baru-baru ini menegaskan kembali kepercayaannya kepada Nicke untuk melakukan transformasi Pertamina menjadi perusahaan induk dengan anak perusahaan terbuka selama dua tahun ke depan. Namun pada perkembangannya, pandemi Covid-19 membuat Pertamina menurunkan target produksi minyak karena permintaan yang lebih rendah dan pemotongan biaya dan belanja modal. []