Indonesia telah memulai misi penting untuk menegosiasikan tarif impor tinggi yang diberlakukan oleh Amerika Serikat (AS). Delegasi pemerintah Indonesia, dipimpin oleh Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, telah memulai serangkaian pembicaraan dengan berbagai kementerian di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump. Tujuan utamanya adalah untuk mencapai perjanjian perdagangan yang adil dan berimbang antara kedua negara dalam waktu 60 hari ke depan.
Airlangga mengungkapkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang diterima lebih awal oleh AS untuk negosiasi ini. Delegasi Indonesia telah bertemu dengan Menteri Perdagangan AS, Howard Lutnick, dan Kepala Kantor Perwakilan Dagang AS, Jamieson Greer. Selain itu, Menteri Luar Negeri Sugiono juga telah bertemu dengan Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio. Pertemuan-pertemuan ini membuka jalan untuk diskusi awal tentang negosiasi yang akan dilakukan.
Indonesia menawarkan beberapa opsi untuk menyeimbangkan neraca dagang dengan AS. Salah satu usulan utama adalah meningkatkan pembelian energi dari AS, termasuk LPG, minyak mentah, dan bensin. Indonesia juga berencana untuk membeli lebih banyak produk agrikultur seperti gandum dan kedelai. Selain itu, Indonesia akan meningkatkan pembelian barang modal dari AS dan memfasilitasi perusahaan AS yang beroperasi di Indonesia dengan memberikan kemudahan perizinan dan insentif.
Indonesia juga menawarkan produk mineral kritis kepada AS dan mempermudah regulasi impor, termasuk produk hortikultura. Investasi antara kedua negara akan didorong melalui skema bisnis ke bisnis (B to B). Selain itu, Indonesia menekankan pentingnya kerja sama di sektor pengembangan sumber daya manusia, terutama di bidang pendidikan, sains, teknik, matematika, dan ekonomi digital. Indonesia juga mengangkat isu layanan keuangan yang cenderung menguntungkan AS.
Indonesia meminta AS untuk menerapkan tar yang lebih kompetitif bagi komoditas ekspor utama seperti garmen, alas kaki, furnitur, dan udang. Saat ini, produk ekspor utama Indonesia menghadapi tarif yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara pesaing, baik dari ASEAN maun luar ASEAN. Misalnya, meskipun tarif tinggi saat ini didiskon menjadi 10%, AS masih menerapkan tarif proteksionis untuk barang-barang tekstil dan garmen sebesar 10-37%. Ini menjadi perhatian utama karena biaya ekspor Indonesia ke AS menjadi lebih tinggi, yang berdampak pada daya saing produk Indonesia di pasar AS.