Jakarta – “Adalah hal yang keliru menyebutkan laki-laki dalam kaitan crosshijaber,” kata Dr Dede Oetomo, aktivis di GAYa Nusantara, Surabaya, kepada “Tagar” melalui sambungan telepon dari Jember, Jawa Timur, 14 Oktober 2019.
Akhir-akhir ini berita tentang crosshijaber mewarnai media massa dan media online nasional serta media sosial. Disebutkan corsshijaber adalah laki-laki yang memakai hijab bahkan dengan cadar. Berita pun tersebar luas bahkan dengan kabar mereka memakai toilet perempuan dan ke masjid.
Dede lagi-lagi menegaskan sebaiknya tidak memakai kata ‘laki-laki’ terkait dengan fenomena crosshijaber yang sedang ramai sekarang. Pakaian, menurut Dede, tidak menentukan jenis kelamin. Di Eropa laki-laki juga pakai rok tapi tidak menempatkan mereka sebagai perempuan atau transgender.

Bagi orang-orang Eropa, menurut Dede, jubah pastor dan sarung sama saja dengan rok. Tapi, lagi-lagi hal ini tidak menentukan jenis kelamin karena pastor adalah laki-laki biar pun memakai jubah. Begitu juga dengan laki-laki di beberapa negara yang memakai sarung tidak menjadikan mereka sebagai perempuan. Masyarakat pun tidak mempersoalkan pastor dengan jubah dan laki-laki yang memakai sarung.
Secara faktual yang memakai hijab dan cadar yang bukan perempuan sama saja dengan transgender. Mereka terpakasa memali jilbab dan hijab untuk meredam masalah yang mereka hadapi di masyarakat terkait dengan identitas gender mereka.
Baca juga: Transgender Bukan Orientasi Seksual
Karena berbagai faktor yang membuat kalangan transgender terganggu dalam kehidupan sehari-hari mereka pun memakai pakaian yang tidak akan berbenturan dengan warga. Maka, jangan heran kalau kemudian banyak waria yang memakai jilbab dan hijab agar mereka tidak jadi objek ejekan masyarakat.
Dede menunjuk orang-orang yang berusaha tampil agamis ketika berhadapan dengan hukum. Sebelum berurusan dengan hukum mereka tidak memakai pakaian yang agamis, tapi ketika di sidang pengadilan mereka memakai pakaian yang agamis. Hal ini bisa saja untuk membentuk opini bahwa mereka adalah orang-orang yang agamis sehingga tidak mungkin melakukan perbuatan yang dilarang agama.
Yang perlu dipikirkan adalah hijab tidak disalahgunakan, misalnya, dimanfaatkan oleh kaum radikal untuk menyamarkan laki-laki sebagai perempuan. Begitu juga dengan laki-laki iseng yang memakai hijab agar bisa dekat dengan perempuan.
Begitu juga dengan orang-orang yang menghadapi persoalan di masyarakat karena identitas gender, seperti transgender, mereka kemudian memakai pakaian yang agamis. Untuk itulah diharapkan agar fenomena crosshijaber tidak perlu dibawa ke ranah agama karena hal itu erat kaitannya dengan persekusi masyarakat terhadap kalangan tertentu. []