Jakarta – Indonesia sejatinya mampu memproduksi sekitar 80 persen kebutuhan baja di tanah air. Namun faktanya, produk baja impor dari China dan Vietnam masih mendominasi bahan baku industri nasional. Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, Silmy Karim memaparkan hal itu ditenggarai oleh beragam faktor.
“Sebenarnya ada beberapa produk baja yang seharusnya bisa dipenuhi oleh buatan dalam negeri. Tapi sayangnya impor dari China, Vietnam, dan negara-negara eks Soviet cukup signifikan mempengarui pasar baja di Indonesia,” katanya.
Silmy Karim menyebut konsumsi baja Indonesia sekitar 20 juta tons dalam setahun. Saat ini, Indonesia baru mampu memproduksi long product dan flat produk yang jika dikalkulasi sekitar 7-8 juta ton setahun.
“Ini perlu jadi perhatian. Indonesia menjadikan baja sebagai komoditas impor nomor 3 setelah minyak dan gas, serta produk elektronik. Sehingga menekan neraca perdagangan dan menekan kurs. Untuk membeli produk impor, kan mesti pakai mata uang asing. Sehingga kebutuhan mata usang asing terus meningkat,” ujarnya diwawancara Tagar TV, Minggu, 18 Oktober 2020.
Di Indonesia, celah produk impor masuk sangat banyak sekali.
Hal ini menjadi salah satu tugas berat Silmy Karim saat ditunjuk Menteri BUMN Erick Thohir untuk menangani perusahaan baja nasional itu.
"Saya bergabung, selain untuk membenahi internal KS (Krakatau Steel), juga harus melakukan pendekatan ke pemangku kebijakan. Harus ada kebijakan yang aware meningkatkan industri dalam negeri," katanya.
Silmy menjelaskan, konsumsi baja dalam negeri masih rendah, yaitu berada di bawah 100 kilogram per kapita per tahun. Sisi positifnya secara prospek, pertumbuhan konsumsi baja di Indonesia ke depan masih bisa lebih tinggi.
Namun dari segi industri baja, kata dia, masih belum berkembang. Artinya, Indonesia masih perlu menyiapkan industri 6 hingga 8 kali lipat.
"Prospeknya memang bagus, namun yang menikmati hanya produk impor," tegasnya.

Silmy menyebut, suatu negara bisa dikatakan ideal jika konsumsi bajanya 300-400 kilogram per tahun. Sementara, PT Krakatau Steel seharusnya masih bisa memasok 70 hingga 80 persen kebutuhan tersebut.
"Memang setiap negara punya strategi. Jepang dan Korea misalnya, mereka memprioritaskan pakai produk satu perusahaan senegara. Untuk baja khusus, Indonesia memang harus mengimpor juga dari luar. PT Pindad misalnya butuh baja tahan peluru, KS bisa bikin tapi tidak banyak, maka akan tetap butuh impor," terangnya.
Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan, disebut Silmy sebagai tiga sektor sentral untuk membangkitkan indsutri baja nasional. Kebijakan dari tiga kementerian ini, katanya, harus disertai penegakan hukum.
"Misalnya SNI. Standar itu dibuat untuk membuat produk asing susah masuk ke suatu negara. Di Indonesia, celah produk impor masuk sangat banyak sekali. Jika berkaca ke standar negara lain, misalnya di Thailand, diberlakukan wajib pakai huruf yang sulit yaitu bahasa lokal, maka produk luar agak susah masuk," bebernya.
Kondisi ini, kata Silmy, bisa berbahaya untuk generasi mendatang. Jika tidak dibangun industri dari sekarang, Indonesia akan semakin ketinggalan. Pengangguran akan semakin tinggi, ketersedian lapangan pekerjaan terus berkurang.
"Banyak negara tidak punya sumber daya alam, tapi industrinya maju. Contoh Jerman atau Jepang. Tinggal kita mau contoh yang mana," tutupnya.[]