Amel, Gadis Kecil Penjual Jasa Ojek Payung di Bandung, Bercita-cita Jadi Dokter

Amel, gadis bermata bening itu ingin jadi dokter. Pulang sekolah ia harus menempuh jarak belasan kilometer ke Bandung untuk menjajakan ojek payung.
Amel, gadis kecil, kelas tiga sekolah dasar, menjajakan jasa ojek payung di Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa, 17 Desember 2019. (Foto: Tagar/Erian Sandri)

Bandung - Tetesan hujan seperti saling berkejaran, meninggalkan awan-awan kelabu di langit, ditarik oleh gravitasi bumi. Menimbulkan genangan-genangan yang terkadang beriring dengan kenangan.

Tetes demi tetes itu jatuh di berbagai tempat di Jl RE Martadinata, Kota Bandung, di atap rumah warga, aspal, tanah, atap mobil, bahkan tak jarang mereka dengan nakalnya mendarat di wajah-wajah para pengendara sepeda motor.

Lalu, tetesan demi tetesan itu bergabung, mengalir dari atap dan tempat-tempat tinggi lainnya, mengucur ke saluran air, gorong-gorong, dan sungai.

Seorang gadis kecil berusia sembilan tahun, Amel, duduk seorang diri di teras sebuah minimarket di Jl RE Martadinata, Kota Bandung, Jawa Barat. Mata beningnya sibuk memperhatikan lalu lalang manusia di sekitarnya.

Amel pengen jadi dokter, Om.

Poni menutup sebagian dahinya. Kulitnya sawo matang, dengan hidung tidak terlalu mancung tapi tidak juga pesek. Pipinya sedikit tembem, seperti bakpau kecil yang menempel pada wajah.

Ia mengabaikan percik tetes air hujan yang membasahi sebagian kaki dan celananya, bahkan beberapa bagian tubuhnya. Tali tas kecil terselempang melilit tubuhnya yang berbalut kaus berwarna merah muda berpadu biru langit.

Raut senang terlihat jelas di wajah Amel saat seorang pria mendatanginya. Pria berkemeja safari hitam itu berniat menggunakan jasa Amel sebagai ojek payung.

Pancaran kebahagiaan dari wajahnya begitu kontras dengan cuaca hari itu, Selasa, 17 Desember 2019 yang berselimut muram mendung kelabu. Hangat senyum Amel seolah mencoba melawan hawa dingin yang dibawa angin, menyusup ke balik pakaian orang-orang.

Segera siswi kelas tiga sekolah dasar itu berdiri dan berjalan di samping si pria yang jalan di bawah naungan payung, membuat butiran hujan kecewa, karena tak mampu membasahi tubuhnya.

Langkah-langkah kecil Amel menapak cepat, seperti mencoba mengimbangi langkah lebar pria pengguna jasanya.

Meski hujan turun cukup deras membasahi sebagian tubuhnya, Amel hanya mematok tarif dua ribu rupiah pada pengguna jasanya. Tarif yang sebenarnya sangat tidak adil dibandingkan dingin yang menderanya, atau risiko terkena flu maupun demam.

Bahkan tarif sebesar itu hanya sepersepuluh dari ongkos transportasi yang harus dikeluarkan Amel menuju pusat Kota Bandung. Amel tinggal sekitar 18 kilometer dari situ, tepatnya di daerah Padalarang, Jawa Barat.

"Rumah mah di Padalarang, ke sini tiap hari pakai bus, kalau sudah pulang sekolah, sampe malam. Ongkosnya Rp 20 ribu sekali ke sini," ucapnya.

Penjual jasa ojek payung seperti dilakukan Amel, bisa ditemui di berbagai tempat di Kota Bandung saat musim hujan, di pusat-pusat keramaian dan di beberapa tempat lain.

Sebagian besar dari para penjual jasa ojek payung adalah anak-anak seumuran Amel. Tak jarang mereka merupakan siswa sekolah yang sengaja mencari penghasilan untuk tambahan uang saku.

Anak-anak penjual jasa ojek payung seperti tidak memikirkan risiko yang bisa saja terjadi, mulai terserempet kendaraan bermotor, hingga sakit akibat terlalu sering kehujanan.

Pengguna jasa ojek payung pun beragam. Mulai dari anak muda hingga paruh baya, perempuan dan laki-laki.

Amel Ojek PayungAmel, gadis kecil, kelas tiga sekolah dasar, menjajakan jasa ojek payung di Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa, 17 Desember 2019. (Foto: Tagar/Erian Sandri)

Dilakukan Sepulang Sekolah

Romantisme yang dibawa musim hujan, mungkin saat ini tak dirasakan Amel. Tetesan demi tetesan air itu untuk sebagian orang dapat menimbulkan sentimen-sentimen masa lalu.

Tapi, untuk anak seusia Amel yang menjual jasa ojek payung, tetesan-demi tetesan itu mungkin tak menimbulkan sentimen apa pun, melainkan menjadi harapan untuk meraup rupiah.

Namun, beberapa belas atau puluhan tahun mendatang, jika cita-cita Amel menjadi dokter dapat terwujud, mungkin saja setiap tetesan hujan akan membawanya kembali mengenang masa kecil di trotoar jalan.

Gadis bermata bening itu bercita-cita menjadi dokter, meski sepulang sekolah dia harus menempuh jarak belasan kilometer untuk menjajakan jasanya sebagai ojek payung.

"Amel pengen jadi dokter, Om," kata dia saat ditanya cita-citanya.

Tapi Amel tidak mau menyebut nama sekolahnya. Ia hanya mengatakan saat ini duduk di kelas tiga.

Seperti masa depannya yang masih menjadi rahasia semesta, Amel juga merahasiakan tentang kedua orang tuanya. Ia hanya tersenyum saat ditanya tentang pekerjaan maupun latar belakang keluarganya.

Amel enggan mengucapkan sepatah kata pun tentang orang tua maupun keluarganya. Senyum dan sikapnya begitu misterius. Tapi sorot matanya tidak menunjukkan sikap tak suka saat ditanya tentang keluarganya. Tatapannya masih menyiratkan harapan seorang anak pada tetesan-tetesan air hujan.

Hujan masih turun cukup lebat, menimbulkan suara gemericik pada genangan di sekitar tempat itu, berpadu dengan deru knalpot maupun suara klakson kendaraan di jalanan.

Dua bola mata calon dokter itu juga tetap memperhatikan sekelilingnya. Tidak ada keluhan keluar dari bibirnya, sikap tubuhnya juga tak menunjukkan rasa enggan atau malas.

Saat sebagian anak sebayanya bermain dengan boneka, berteduh di dalam rumah yang hangat sambil menonton film kartun, Amel harus bertarung dengan cuaca dingin dan butiran air hujan demi recehan dua ribu rupiah.

Amel kembali berdiri dan menawarkan jasanya pada seorang pria berusia sekitar 40 tahunan. Kaki kecilnya melangkah cepat memercikkan air di jalanan yang terinjak oleh alas kakinya.

Mungkin pria itu merasa iba pada gadis kecil itu, atau dia senang pada pelayanan yang diberikan Amel, sehingga ia memberikan uang lebih pada Amel. Jemari mungil anak itu menerima uang jasanya, memasukkan uang setengah basah tersebut ke dalam tas.

"Terima kasih, Om," bibirnya mengucap sambil menyunggingkan senyum.

Pria itu mengaku sengaja memberi uang lebih pada Amel, karena ia terkesan pada kegigihan gadis kecil tersebut.

Amel dinilainya tidak seperti sebagian ojek payung lain, yang menggunakan aji mumpung dengan memasang tarif tinggi saat jasanya dibutuhkan. Padahal, jika Amel memasang tarif lebih tinggi pun, pengguna jasanya pasti mau.

"Dia tetap pasang tarif murah, padahal kalau pasang tarif mahal juga kan bisa, orang-orang juga pasti mau kok daripada mereka basah kehujanan," kata pria itu.

Tagar berjalan menjauh dari Amel dan pelanggannya, membiarkannya bertarung dengan waktu, mengais rezeki dari orang-orang yang enggan atau takut pada butiran-butiran air dari langit.

Beberapa pasang mata lain juga seperti memperhatikan langkah kecil gadis itu. Bahkan, semesta pun menyaksikan betapa bibir mungilnya tak lelah, ramah menawarkan jasa. Sesekali ia kembali ke teras minimarket saat tidak ada orang yang berminat menggunakan jasa ojek payungnya. []

Baca cerita lain:

Berita terkait
Ratu Harum Sari, Jawara Banten Masa Kini
Puluhan anak menirukan gerakan silat yang diajarkan pelatih mereka, Ratu Harum Sari, 40 tahun, di Kampung Rumbut, Desa Kaduagung, Lebak, Banten.
Mantan Preman Jadi Penghapus Tato di Sleman
Prianggono 43 tahun, seorang mantan preman, membuka jasa menghilangkan tato gratis dan mendirikan panti asuhan bernama Daarul Qolbi di Sleman.
Enam Susun Eksotisme Grojokan Watu Purbo di Sleman
Matahari dan awan kelabu seperti berlomba menunjukkan eksistensinya di Desa Bangunrejo, Merdikorejo, Kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman siang itu.
0
LaNyalla Minta Pemerintah Serius Berantas Pungli
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, meminta pemerintah serius memberantas pungutan liar (pungli). Simak ulasannya berikut ini.