Anak dan Perempuan yang Jadi Korban Kekerasan Harus Ditangani dengan Manajemen Kasus

Dampak dari tidak adanya manajemen dalam penanganan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan dapat menyebabkan kasus menjadi mandeg
Pelatihan Manajemen dan Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak yang berlangsung pada 17-18 Oktober 2024 di Aula Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pinrang, Sulsel. (Foto: Dok/Ist)

TAGAR.id, Pinrang, Sulsel - Pentingnya manajemen kasus dalam penanganan kekerasan terhadap anak dan perempuan adalah agar korban atau penyintas tidak mengalami sebagai korban yang kedua kalinya atau mengalami trauma berganda.

Korban kekerasan harus mendapatkan penanganan yang baik, agar tidak lagi terjadi penanganan kasus yang semakin membuat korban terpuruk. Beberapa kasus kekerasan dimana korban kadang diberi pernyataan yang seperti mengadu nasib dari pihak yang menangani.

Misalnya, “saya dulu pernah disenggol pantatku, dan saya tidak menangis, masa kamu cengeng!” Atau seorang siswa yang melaporkan pelecehan seksual yang dialaminya, kadang dipojokkan dengan pernyataan, “makanya jangan genit.” Kondisi ini sebenarnya membuat korban yang seharusnya mendapatkan perlindungan tapi merasakan trauma yang kedua kalinya dan membuat korban semakin depresi.

Sitti Annisa M. Harusi, MPsi, dari Himpunan Psikolog Indonesia Wilayah Sulawesi Selatan (Sulsel), dalam Pelatihan Manajemen dan Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak yang berlangsung pada 17-18 Oktober 2024 di Aula Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pinrang, Sulsel, menjelaskan bahwa dampak dari tidak adanya manajemen dalam penanganan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan dapat menyebabkan kasus menjadi mandeg, karena tidak adanya komunikasi yang baik antara penyidik, dengan psikolog rujukan.

Apalagi jika dari awal pendekatan ke korban tidak ramah dan tidak berbasis gender, serta banyak judgment, maka korban akan menjadi korban (korban berganda), disebabkan sudah trauma dari kekerasan yang dihadapinya ditambah lagi tidak mendapatkan penanganan yang baik dari orang-orang yang semestinya membantunya, misalnya dari pihak hukum ataupun pihak yang berwenang.

Begitupun penanganan kasus-kasus kekerasan di sekolah, guru diharapkan dapat menjadi penolong pertama yang baik. Misalnya membiarkan korban bercerita. Atau saat dalam penyidikan tidak terlalu mengarahkan ke kondisi yang lebih buruk terhadap korban.

Pelatihan manajemen kasus dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dilaksanakan oleh Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2KBP3A) Kabupaten Pinrang secara resmi dibuka oleh Kepala Dinas dr Ramli Yunus pada Kamis, 17 Oktober 2024.

Pelatihan ini dihadiri sekitar ratusan peserta terdiri dari guru dan staf puskesmas yang mewakili setiap kecamatan di Kabupaten Pinrang. Pada kesempatan ini pula Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Dinas P2KBP3A, Dr. Ir. Andi St Nurfadilah Ruslan, ST. MT. menjelaskan bahwa tujuan dari pelatihan ini untuk mengetahui langkah-langkah penanganan dan pencegahan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

korban kekerasan seksualBanyak korban kekerasan seksual yang memilih tidak melaporkan kasusnya ke polisi. (Foto: dw.com/id - Alberto Menendez/imago images)

Oleh karena itu terkait dengan Dinas Pendidikan, diharapkan guru dapat memahaminya berdasarkan aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah mengamanatkan membentuk Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA).

Melalui Dinas P2KBP3A khususnya di PPA melakukan sosialisasi agar desa dan kelurahan tanggap dan tahu harus melakukan apa jika mendapatkan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai kaum rentan. Agar penanganan kasus lebih berbasis masyarakat maka dibentuk PATBM (perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat) yang telah dibentuk di beberapa kecamatan di Pinrang. PATBM ini bisa merekrut bidan, staf puskesmas, guru dan sebagainya. Dan dilatih manajemen penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Surati, seorang guru BK dari SMPN 1 Lembang, mengatakan banyak hal yang harus dia ubah dalam penanganan peserta didik. Salah satunya adalah bagaimana mengelola emosional sehingga dapat maksimal menangani peserta didik yang mengalami masalah baik dalam pembelajaran maupun saat mendapatkan kekerasan. Surati merasa beruntung dapat hadir di pelatihan manajemen dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. (Nurhidayah Mantong). []

Berita terkait
Bahasa Bugis dalam Festival Tunas Bahasa Ibu di Pinrang
Bahasa Bugis termasuk dalam tujuh bahasa daerah terbanyak penuturnya dan diucapkan di masyarakat di Sulsel dan daerah lain