Oleh: Syaiful W. Harahap*
TAGAR.id - Kejahatan seksual terhadap anak-anak di Indonesia seakan-akan sudah jadi biasa sebagai peristiwa kriminal. Banyak kalangan yang tidak memberikan reaksi positif, tapi justru tanggapan negatif yang mengungtungkan pelaku kejahatan.
Korban terakhir terjadi di Surabaya, awal Juli 2020, ketika seorang penjaga makam, I, 56 tahun, mencabuli beberapa anak laki-laki dan perempuan. Ada media yang menulis judul laki-laki ini punya kelainan seksual, sementara I mengatakan khilaf. Ini tidak bisa diterima karena banyak orang sebagai parafilia tidak melakukan kejahatan seksual. Khilaf pun tidak masuk akal karena kejahatan seksual dilakukan I berulang kali terhadap anak-anak yang berbeda.
Baca juga: Kejahatan Seksual Terhadap Anak-anak di Surabaya
Kondisinya kian runyam karena banyak warga Indonesia, terutama perempuan, justru menyalahkan korban kejahatan seksual. Misalnya, dengan mengaitkan cara berpakaian, mengapa bermain sendirian, dll. Padahal, ada juga korban kejahatan seksual yang memakai pakaian yang menutup badan.
1. Pelaku Kejahatan Seksual terhadap Anak-anak Bukan Parafilia
Bahkan, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yambise, justru menyalahkan orang tua korban seorang gadis cilik yang diperkosa dan dibunuh oleh 14 laki-laki di Bengkulu tahun 2016. Menteri itu juga mengatakan orang tua korban bisa dipidana karena membiarkan lalai mengawasi anak.Hal ini disampaikan Yambise pada rapat kerja dengan Komisi VIII DPR, 30 Mei 2016. Menteri ini seorang perempuan.
Baca juga: Kejahatan Seksual terhadap Bayi dan Anak-anak
Di sisi lain sering pula terjadi pelaku kejahatan seksual akan memakai atribut dan pakaian yang menunjukkan ciri-ciri agama tertentu ketika di tahanan polisi dan di sidang pengadilan. Mereka berharap bisa memberikan kesan yang berbeda. Ini akan efektif bagi kalangan dengan literasi rendah dan pemahaman agama seperti kaca mata kuda.
Anak-anak banyak jadi korban kejahatan seksual dengan iming-iming nilai bagus, menonton video dan uang jajan. Selain itu ada juga yang diancam tidak naik kelas atau diberikan nilai jelek di rapor. Pelaku kejahatan seksual adalah laki-laki dewasa yang bukan sebagai parafilia (orang-orang yang menyalurkan dorongan seksual dengan cara yang lain), tapi sebagai pelaku tindak kriminal, dalam hal ini kejahatan seksual.
Tapi, banyak kalangan, terutama polisi dan media, yang selalu mengaitkan pelaku kejahatan seksual terhadap anak-anak sebagai parafilia, dalam hal ini pedofilia karena korbannya anak-anak berumur 7-12 tahun.
Perlu dibedakan antara pedofilia dan pelaku kejahatan seksual. Pedofilia tidak membeli seks melalui germo atau mucikari dan tidak pula membujuk dengan uang jajan, tapi menjadikan anak-anak sebagai anak asuh, ponakan angkat, anak angkat, bahkan dijadikan sebagai istri.
2. Panggung Pembelaan bagi Pelaku Kejahatan Seksual
Maka, pelaku kejahatan seksual terhadap anak-anak umur 7-12 tahun bukan pedofilia, tapi sebagai murni sebagai penjahat dalam hal ini kejahatan seksual yang merupakan tindak pidana.
Pelaku kejahatan seksual terhadap bayi dan anak-anak umur 0-7 tahun disebut infantofilia. Di Indonesia sudah banyak kasus infantofilia yang ditangani polisi. Korban termuda seorang bayi perempuan berumur 9 bulan di Jakarta Timur tahun 2013 yang diperkosan oleh pamannya. Bayi ini meninggal.
Baca juga: Pelaku Kejahatan Seksual Sasar Bayi di Sekitar Kita
Banyak kalangan, bahkan institusi yang menyebut diri menaungi anak-anak, yang selalu menyalahkan orang tua dari anak-anak yang jadi korban kejahatan seksual. Ini tentu saja keliru karena di ranah publik keselamatan anak-anak adalah tanggung jawab negara, dalam hal ini pemerintah. Adalah hal yang mustahil orang tua mengepit anak di ketiak setiap saat.
Dari banyak kasus kejahatan seksual terhadap anak pelakunya justru orang-orang terdekat dari lingkungan keluarga, tempat tinggal (tetangga), sekolah (guru dan penjaga sekolah) dan tempat ibadat. Lagi-lagi sering terjadi yang dihujat justru korban dengan berbagai terminologi yang menyakiti anak-anak, seperti menyebut cara berpakaian dan pergaulan anak-anak.
Posisi anak-anak korban kejahatan seksual di social setting yang diapit kalangan dengan powerfull dan voice full). (Tagar/Syaiful W. Harahap).
Polisi dan wartawan pun sering pula memberikan panggung kepada pelaku kejahatan seksual untuk melakukan ‘pembelaan’ yaitu alasan pelaku mengapa melakukan kejahatan seksual. Yang paling tidak bisa diterima akal sehat adalah polisi dan wartawan mendeskripsikan yang dilakukan pelaku kejahatan seksual, bahkan secara vulgar. Dalam kaidah jusnalistik hal ini yang mendeskripsikan kejahatan disebut sebagai ‘the second rape’ (jika mendeskripsikan pelecehan seksual dan perkosaan) atau ‘the second murderer’ (jika mendeskripsikan proses pembunuhan).
3. Anak-anak Juga Bisa Jadi Korban di Masa Pandemi Covid-19
Adalah hal yang tidak masuk akal seorang penjahat seksual mengatakan dia melakukan kejahatan seksual karena dia menonton video porno. Ratusan juta orang di dunia menonton film biru dan video porno tapi tidak melakukan kejahatan seksual. Maka, tidak sepantasnya polisi dan wartawan memberikan panggung bagi pelaku kejahatan seksual untuk membela diri. Biarlah hakim di sidang pengadilan yang mempertimbangkan alasan pelaku kejahatan seksual.
Di masa pandemi Covid-19 anak-anak juga berada di bawah tekanan psikologis dan jadi incaran predator anak melalui media sosial. Ketika sekolah ditutup yang diganti dengan belajar jarak jauh di rumah melalui jaringan internet, karena keterbatasan orang tua dalam memahami mata pelajaran anak-anak bisa jadi korban kekesalan orang tua.
Karena anak-anak yang belajar di rumah juga melalui jaringan (internet), maka selalu berada di depan layan telepon pintar, PC atau laptop. Ini jadi sasaran pelaku kejahatan seksual dengan mengirim teks bernada seks dan foto-foto sensual. Bisa saja predator anak memanfaatkan pelajaran dengan memberikan bimbingan belajar agar anak-anak masuk dalam perangkap.
Dalam kaitan ini orang tua diharapkan bisa lebih bijaksana, bukan dengan cara polisional (seperti penegak hukum), mengawasi anak-anak yang belajar dengan memakai telepon pintar, PC atau laptop.
Sudah saatnya warga, instansi, media dan institusi yang terkait dengan anak tidak berada di posisi pelaku kajahatan seksual terhadap anak karena dengan cara ini anak-anak jadi tidak berdaya (powerless) dan pelaku kejahatan seksual dengan dukungan warga yang membela berada di posisi yang berdaya (powerfull). []
* Syaiful W. Harahap, Redaktur di Tagar.id