Jakarta - Pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno mengatakan penyebutan 'Jokowi fasis' oleh pendemo dalam aksi unjuk rasa kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) berlebihan.
"Kata-kata ini berlebihan dan tak relevan. Fasisme sudah tak ada di dunia," kata Adi kepada Tagar, Selasa, 29 Oktober 2019.
Menurut dia, sebenarnya penyebutan 'Jokowi fasis' tidak mencerminkan makna yang sesungguhnya. Sebab, pendemo misalnya dari unsur mahasiswa memang seringkali menggunakan kata-kata yang hiperbolis.
"Atau lebay untuk menggambarkan sesuatu yang sebenarnya sederhana. Itu bahasa orasi lapangan," ucapnya.
Tujuan mereka menggunakan kata hiperbolis tidak lain untuk membuat peserta aksi unjuk rasa bergairah menyuarakan pendapatnya. "Seperti revolusi, cabut mandat, dan lain-lain. Itu bahasa propagandis memantik peserta aksi biar semangat," tuturnya.
Entah menilai dengan berlebihan atau tidak, menurutnya kembali lagi pada individu atau kelompok yang mendengar. Tapi, tetap saja jika dinilai dari sebuah kata, penyebutan 'Jokowi fasis' berlebihan.
"Tergantung siapa yang menilai," tutur Adi.
Sementara itu, pengamat politik Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo mengatakan sebutan fasis yang dialamatkan kepada Jokowi terlalu gegabah. Apalagi, Jokowi dengan Wakil Presiden Ma'ruf Amin baru menjalankan pemerintahannya.
Sehingga, ia tidak setuju ketika pendemo meneriakan 'Jokowi fasis'. Sebab, yang dilihatnya kebalikan dari fasis yakni pemerintahan Jokowi semakin terbuka terhadap masyarakat.
Hal tersebut ia lihat dari berbagai aksi unjuk rasa yang dilakukan masyarakat misalnya, menyampaikan pendapat di muka umum yang masih bebas dan berlangsung di Indonesia baik secara langsung maupun melalui media massa serta media sosial.
Massa aksi Kamisan Solo melakukan aksi unjuk rasa Save KPK dan Menolak Revisi UU KPK di Gladak, Solo, Jawa Tengah, Kamis, 19 September 2019. (Foto: Antara/Mohammad Ayudha)
Demonstrasi Menyebut 'Jokowi Fasis'
Demonstrasi 28 Oktober
Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Bergerak (Ampera) menggelar aksi unjuk rasa di kawasan Patung Arjuna Wiwaha atau Patung Kuda, Jakarta Pusat, Senin, 28 Oktober 2019.
Gabungan organisasi mahasiswa seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Serikat Perempuan Indonesia (Seruni) dan Front Mahasiswa Nasional itu meneriakkan 'Jokowi fasis' karena mengerahkan aparat untuk membatasi aksi unjuk rasa yang semula akan dilakukan di depan Istana Negara.
"Jokowi fasis, Jokowi fasis, Jokowi fasis," ujar pendemo dengan nada lagu 'Lingkaran Kecil Lingkaran Besar'.
Aksi Kamisan
Aksi Kamisan yang digelar di depan Istana Negara, Kamis, 19 September 2019 juga meneriakan 'Jokowi fasis'. Protes tersebut karena peserta Aksi Kamisan geram dengan pengesahan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan RUU (Rancangan Undang-Undang) Sumber Daya Air.
Selain itu, mereka menuntut penundaan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), dan RUU Permasyarakatan.
"Kita lihat bagaimana demokrasi di Indonesia mundur kembali ke masa lalu. Ini menandakan kita kembali ke zaman Orba," ucap koordinator Aksi Kamisan Vebrica Monicha.
Dengan dalih demonstrasi di korupsi, karena adanya peraturan dan perundang-undangan yang rentan menakut-nakuti warga dengan kecenderungan otoriter, massa pun meneriakan 'Jokowi fasis' di depan Istana Merdeka.
"Jokowi fasis, anti demokrasi! Jokowi fasis, anti demokrasi!Jokowi fasis, anti demokrasi!" ucap pendemo. []