Jakarta - Arifin Panigoro resmi ditunjuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) periode 2019-2024. Raja Minyak Indonesia ini dilantik di Istana Kepresidenan Jakarta pada Jumat, 13 Desember 2019.
Arifin Panigoro lahir di Bandung, Jawa Barat, 14 Maret 1945. Sebelum menjadi pengusaha sukses, Arifin pernah menjadi kontraktor instalasi listrik door to door. Kemudian, dia memulai proyek pemasangan pipa kecil-kecilan.
Pria 74 tahun ini merupakan bos dari MEDCO (Meta Epsi Pribumi Drilling Company), perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi swasta terbesar di Indonesia. Atas jerih payahnya, dia mendapat julukan Raja Minyak Indonesia.
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Kiri ke kanan: Agung Laksono, Sidharto Danusubroto, Arifin Panigoro, Soekarwo, Putri Kuswisnu Wardani, M Mardiono dan Dato Sri Tahir berpose sebelum upacara pelantikan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (13/12/2019). (Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay).
Arifin menempuh pendidikan di Jurusan Elektro, Institut Teknologi Bandung pada 1972. Dia berasal dari keluarga besar Panigoro, yang merupakan marga asli yang telah lama digunakan di Provinsi Gorontalo.
Ayah Arifin, Jusuf Panigoro yang beretnis Gorontalo memutuskan untuk merantau ke Bandung untuk berdagang kopiah.
Awal mula Arifin menaiki puncak kejayaan bisnisnya ialah ketika dirinya berhasil membeli Stanvac yang dimenangkan melalui tender yang kemudian namanya diubah menjadi Expan.
Pengakuisisian itu membuat PT Stanvac menjadi sepenuhnya milik Medco. Sebelumnya perusahaan tersebut dikuasai asing dan menjadi tertua di Indonesia.
Arifin, pernah terjun ke dunia politik dengan menjadi anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada tahun 1999 dari daerah pemilihan Kabupaten Tangerang.
Pada pemilu 2004, dia kembali terpilih sebagai legislatif mewakili daerah Banten 1 yang saat itu meliputi Kabupaten Lebak, Pandeglang, Serang, dan Kota Cilegon. Namun pad 2005, Arifin memilih mundur dari DPR dan keluar dari PDIP.
Di kongres PDIP tahun 2005 terjadi perbedaan tajam dalam penentuan metode demokratis yang berlaku di partai. Beberapa orang merasa kecewa dengan sistem yang memberikan hak istimewa mutlak kepada ketua partai dan hanya memiliki satu kandidat untuk posisi-posisi senior.
Kelompok ini kemudian mendirikan Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) yang mengambil sistem kepemimpinan kolektif dengan 35 orang dalam pimpinan kolektif nasional.
Mereka adalah Sophan Sophiaan, Laksamana Sukardi, Roy B.B. Janis, Sukowaluyo Mintorahardjo, Noviantika Nasution, Didi Supriyanto, Tjiandra Wijaya, Postdam Hutasoit, dan RO Tambunan.
Sebelum itu, ketika detik-detik menjelang lengsernya Presiden Soeharto, nama Arifin disebut sebagai penyokong dari demonstrasi besar-besaran untuk menurunkan penguasa orde baru. Bahkan, Arifin sempat mengirimkan ribuan kotak makan untuk para pengunjuk rasa.
Pada pemerintahan BJ Habibie, Arifin sempat dijerat dengan tuduhan pidana korupsi penyalahgunaan commercial paper senilai lebih dari Rp 1,8 triliun. Pada waktu itu, sejumlah kalangan percaya dijeratnya Arifin karena kedekatannya dengan gerakan mahasiswa. []