Bekasi - Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko mengatakan Indonesia akan mengambil langkah diplomasi manakala terjadi sengketa antara Amerika Serikat (AS) dan China di Laut China Selatan. Langkah-langkah yang diambil Pemerintah RI ia pastikan sesuai dengan doktrin politik luar negeri bebas aktif.
"Sesuai doktrin politik luar negeri yang bebas aktif, Indonesia akan melakukan pendekatan diplomasi untuk kelangsungan perdamaian di kawasan itu,” kata Moeldoko pada acara PYC 4th Anniversary Webinar Series dengan topik Geopolitik Energi di Laut Cina Selatan: Kekuatan Diplomasi, di Jakarta, Sabtu, 20 Juni 2020.
Hingga saat ini wilayah Laut China Selatan menjadi perebutan beberapa negara, khususnya China dan Amerika Serikat. Di kawasan tersebut juga terjadi perang dingin antara kedua negara adidaya.
Baca juga: Indonesia Tolak Klaim China Atas Laut Dekat Natuna

Secara geopolitik, Indonesia berada pada posisi strategis dalam persoalan Laut China Selatan. Namun, Moeldoko memastikan apabila benar-benar pecah konflik antara AS dan China, maka Indonesia akan mengambil posisi netral, tidak memilih keberpihakan pada salah satu negara.
Pada kesempatan itu, pendiri PYC dan Pionir Universitas Pertahanan Indonesia (Unhan) Purnomo Yusgiantoro menjelaskan saat ini ada sembilan titik yang diklaim menjadi wilayah teritorial China di kawasan tersebut.
Moeldoko: Indonesia akan melakukan pendekatan diplomasi untuk kelangsungan perdamaian di kawasan itu.
Kekuatan besar dua negara, Amerika Serikat dan China, menurutnya tengah memperebutkan sumber daya energi di sekitar kawasan.
“Kita tak terlibat namun ada lapangan gas terbesar di wilayah tersebut yang menjadi perhatian kita. Perlu ada prinsip diplomasi dalam menghadapi isu geopolitik di kawasan Laut China Selatan,” ujar Purnomo.
Baca juga: Prabowo Subianto Apresiasi Laut China Selatan
Menurutnya, kekuatan diplomasi Indonesia mengenai wilayah Natuna sempat terhenti karena pandemi Covid-19. Pembicaraan yang sudah berlangsung sejak beberapa tahun tidak bisa dilanjutkan, meski dilakukan secara virtual.
“Pembicaraan diplomasi ini lebih diinginkan secara tatap muka, kita berharap dapat ditindaklanjuti," ujarnya.
Sementara itu, mantan Menteri Perdagangan dan Duta Besar Indonesia untuk Jepang dan Federasi Micronesia Muhammad Lutfi mengatakan pertumbuhan ekonomi dunia akan sangat pesat terjadi di negara berkembang.
Terkait hal tersebut, menurut Lutfi, penguasaan sumber daya alam akan menjadi pertarungan. Penguasaan teknologi yang saat ini sedang ditingkatkan China akan memperkuat perekonomian.
Menurut dia, AS memantau negara-negara yang menerapkan demokrasi, menjunjung hukum, dan kebebasan untuk berpendapat, salah satunya Indonesia.
“Kita menjadi calon sahabat sejati di masa depan. Kenapa? Karena kriteria itu ada di Indonesia. Ada kepentingan AS, Indonesia punya situasi yang unik di Laut China Selatan," ujar Lutfi.
Sementara itu, penasihat senior Kantor Staf Presiden Andi Widjajanto menjelaskan China berhasil melakukan diplomasi untuk mengamankan energi terkait keinginannya untuk menjadi pemain utama di dunia.
Dia mengatakan, China membangun militer, gelar kekuatan, dan cita-cita Republik Rakyat Tiongkok adalah mendapat keamanan energi dan gelar investasi energi ke hampir seluruh dunia. []