Jakarta - Heboh ketidakmampuan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) untuk menunaikan kewajibannya membayar Rp 12,4 triliun atas polis nasabah pada akhir tahun ini menimbulkan pertanyaan. Mengapa perkara gagal bayar perusahaan asuransi kembali terulang. Padahal, kejadian serupa pernah menimpa sejumlah entitas lain pada masa silam.
Tagar mencatat, setidaknya ada tiga perusahaan asuransi yang pernah bernasib malang seperti Jiwasraya. Dirundung kesulitan likuiditas, degradasi kepercayaan, serta ancaman kebangkrutan. Berikut penulis ulas sejumput permasalahan yang dialami oleh ketiga perusahaan asuransi jiwa yang mengalami gagal bayar.
1. Bakrie Life
Perusahaan jasa keuangan yang terafiliasi dengan taipan Abu Rizal Bakrie itu mulai terendus mengalami masalah keuangan sejak 2008. Kala itu, sumber permasalahan ada pada instrument Diamond Investa. Melalui produk tersebut, kerugian perseroan diperkirakan menyentuh angka Rp 340 miliar.
Guna memperbaik posisi tawar perusahaan, manajemen memberikan alasan bahwa penyebab default atas produk Diamond Investa lebih kepada risiko keuangan yang bersifat global (global financial crisis). Dalam penyelesaiannya, Bakrie Life melunasi kewajibannya kepada nasabah dengan cara pembayaran secara bertahap.
Akan tetapi, hingga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut ijin usaha entitas ini melalui KEP-76/D.05/2016, Bakrie Life diketahui masih memiliki kewajiban tertunggak sebesar Rp 260 miliar.

2. Bumi Asih Jaya (BAJ)
Bisa dikatakan, Asuransi Bumi Asih Jaya menjadi yang paling rumit dalam proses penyelesaian perkara keuangannya karena terlibat dalam beberapa kali proses hukum dengan regulator terkait. Dinyatakan tidak boleh lagi menjalankan usaha oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak 2013, Asuransi Bumi Asih Jaya diketahui memiliki total utang Rp 1,2 triliun kepada krediturnya.
Pada penutupan tahun bisnis 2014, perusahaan asuransi jiwa itu memiliki pertanggungan polis sebesar Rp 634 miliar untuk nasabah perorangan dan Rp 182 miliar untuk asurasi berjenis kolektif. Padahal, Bumi Asih hanya mampu membayar Rp 409 miliar atas keseluruhan klaim tersebut.
Alhasil, entitas usaha yang mulai berdiri pada 1967 itu terbelit masalah rasio solvabilitas (risk based capital/RBC) atau kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban, yang berdampak pada menurunnya kinerja keuangan perusahaan. Dalam perjalanannya, tim pemroses kepailitan Bumi Asih membagi secara proporsional Rp 50 miliar kepada 29.000 pemegang polis. Tim kurator juga memberi alokasi Rp 37 miliar kepada kantor pajak sebagai pihak terutang pungutan.
3. Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1921
Aroma tidak sedap dari dapur Bumiputera mulai tercium sejak 2010 saat perusahaan itu hanya mampu menyelesaikan 82 persen dari kewajibannya untuk memenuhi utang jangka panjang dan jangka pendek. Alhasil, kongsi usaha tersebut dianggap tidak mampu mematuhi Keputusan Menteri Keuangan No.504/20104 Tentang Solvabilitas Perusahaan Asuransi.
Kondisi demikian berlanjut hingga 2012. Pada periode tersebut Bumiputera tercatat memiliki kewajiban sebesar Rp 22,77 triliun. Adapun, aset perseroan diperkirakan hanya menyentuh angka Rp 12,1 triliun.
Melihat kondisi tersebut, OJK akhirnya mengambil alih kendali Bumiputera pada 2016 dan menonaktifkan seluruh direksinya. Pada 2018, otoritas akhirnya menghentikan pengelolaan statuter dan menunjuk Sutikno Sjarif sebagai direktur utamanya. []
Baca Juga:
Korupsi Jiwasraya: Rugi Rp 13 T, 89 Orang Diperiksa
Bara JP Minta Kasus Gagal Bayar PT Jiwasraya Diusut Tuntas