Bank Dunia Sebut Inflasi dan Kemiskinan Terus Meningkat di Myanmar

Kondisi perekonomian Myanmar tidak memperlihatkan tanda-tanda pemulihan pasca kudeta militer pada 2021
Seorang pengendara menyerahkan lembaran mata uang Myanmar kyats sebagai pembayaran di sebuah pom bensin di Botahtaung, Yangon, Myanmar, 12/11/2021. (Foto: voaindonesia.com/AP)

TAGAR.id – Kondisi perekonomian Myanmar tidak memperlihatkan tanda-tanda pemulihan pasca kudeta militer pada 2021 di saat perang saudara telah menyebabkan lebih banyak warga Myanmar lari ke luar negeri, mendorong inflasi di atas tiga digit di beberapa wilayah negara itu serta menjerumuskan negara tersebut ke dalam kemiskinan, menurut sebuah laporan baru Bank Dunia. Zsombor Peter melaporkannya untuk VOA.

Laporan berjudul “Kehidupan di bawah Ancaman” dan dirilis pada Rabu (12/6/2024) di Myanmar, mengungkapkan bahwa kondisi perekonomian negara tersebut mengalami pasang surut dalam satu tahun terakhir dengan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang hanya mencapai sebesar 1%. Kondisi serupa diperkirakan akan berlangsung pada tahun depan.

Walaupun berhasil mencegah resesi, pertumbuhan yang lamban menyebabkan ekonomi Myanmar yang pernah menikmati pertumbuhan sebesar 10%, menyusut dari sebelum pihak militer mengambil alih kekuasaan lebih dari tiga tahun yang lalu.

Kelompok-kelompok perlawanan berhasil memenangkan pertempuran melawan junta yang berkuasa sejak tahun lalu dan diduga menguasai setengah dari wilayah negara itu, termasuk beberapa rute perdagangan penting.

“Inti keseluruhan dari laporan ini adalah kondisi ekonomi tetap lemah dan rentan. Kondisi operasional untuk bisnis dari semua ukuran dan sektor tetap sangat sulit,” kata ekonom senior Bank Dunia Kim Edwards pada peluncuran laporan tersebut.

Bank Dunia mengatakan inflasi naik mencapai 30% setahun menjelang September 2023 dan tingkatnya jauh lebih tinggi di daerah di mana pertempuran berlangsung paling sengit.

“Anda bisa lihat di daerah dan kawasan yang terdampak konflik — Kayin, Kachin, Sagaing, Shan utara, Kayah — harga-harga meningkat 40% hingga 50%,” kata Edwards.

“Kemudian di Rakhine, di mana ... masalah spesifik dan konflik yang meningkat akhir-akhir ini, harga-harga naik sebesar 200%. Jadi [kondisinya] sangat substantif, dan sudah tentu, berdampak besar pada kerawanan pangan,” tambahnya.

Program Pangan Dunia PBB (WFP) mengatakan kerawanan pangan kini mengancam seperempat dari 55 juta penduduk Myanmar, khususnya setelah lebih dari 3 juta warga terpaksa mengungsi akibat pertempuran.

Dalam laporan yang dirilis pada Rabu itu, Bank Dunia juga mengestimasikan bahwa hampir sebanyak satu pertiga dari populasi Myanmar saat ini hidup dalam kemiskinan.

“Dan kita melihat parahnya kemiskinan yang terjadi. Jadi, kondisi saat ini merupakan tolak ukur dari kemiskinan — yang semakin parah di 2023, yang berarti kemiskinan semakin mengakar dibandingkan di waktu manapun dalam enam tahun terakhir,” kata Edwards. (jm/ka/rs)/voaindonesia.com. []

Berita terkait
Myanmar Bebaskan Ribuan Napi Termasuk 13 WNI
Pemerintah militer Myanmar mengatakan bahwa mantan pemimpin Aung San Suu Kyi telah dipindahkan dari penjara ke tahanan rumah
0
Bank Dunia Sebut Inflasi dan Kemiskinan Terus Meningkat di Myanmar
Kondisi perekonomian Myanmar tidak memperlihatkan tanda-tanda pemulihan pasca kudeta militer pada 2021