Jakarta - Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP) menyatakan revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang telah disahkan oleh DPR pada Selasa, 17 September 2019, adalah untuk menguatkan KPK.
"Kami melihat dari beberapa pasal revisi, ini bertujuan untuk menguatkan KPK dan menguatkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Ketua Umum Bara JP Viktor S. Sirait.
Dia menyebut salah satu contoh adalah kehadiran dewan pengawas yang diperlukan agar ada check dan balance atau kontrol dalam setiap keputusan yang dilakukan oleh KPK .
Baca juga: Denny Siregar: Ketika Jokowi Tegur KPK
"Sebuah lembaga negara perlu dewan pengawas agar keputusan bisa dilakukan secara terukur, hati-hati, menghindari adanya abuse of power, dan mempunyai pertanggungjawaban," katanya.
Dukungan terhadap revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengalir di Kota Makassar. (Foto: Tagar/Rio Anthony)
Menurutnya kehadiran dewan pengawas ini justru akan lebih menguatkan KPK karena akan membuka ruang lebih luas terutama kepada akademisi, pemerhati masalah korupsi atau NGO, atau tokoh mqasyarakat, untuk berpartisipasi masuk secara langsung dalam tubuh KPK.
"Karena itu Bara JP mendorong kalangan yang selama ini khawatir bahwa KPK akan semakin lemah dengan revisi UU KPK ini untuk justru terlibat aktif dengan menjadi bagian dari unsur dewan pengawas," ucapnya.
Bara JP juga sepakat bahwa penyadapan harus dapat dikontrol agar tidak dilakukan secara semena-mena dan tidak melanggar hak asasi manusia.
"Tahun 2014, ketika proses politik pencalonan wapres, ketua KPK saat itu disinyalir menggunakan kuasa penyadapan ini, dimana AS mengetahui bahwa dirinya tidak dipilih sebagai calon wakil presiden untuk mendampingi Pak Jokowi dari hasil penyadapan. Jika ini benar terjadi, maka Ini adalah penyalahgunaan yang sangat fatal dan harus dihindari tidak boleh terjadi ke depan, yaitu dengan kontrol melalui dewan pengawas," ujarnya.
Baca juga: Akhirnya, Kini 'Buaya' Benar-benar Menelan 'Cicak'
Mengenai penerbitan SP3, Bara JP melihat bahwa SP3 ini mutlak diperlukan untuk memberikan kepastian hukum.
"Indonesia adalah sebuah negara hukum sehingga dalam pelaksanaannya tentu harus ada kepastian hukum," ujarnya.
Menurutnya kekhawatiran sebagian kalangan bahwa penerbitan SP 3 ini kelak akan memperlemah KPK karena ruang gerak KPK akan menjadi terbatas, karena revisi UU KPK memberi kewenangan kepada KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan (SP3) suatu kasus dugaan korupsi jika tak tuntas dalam 2 tahun, adalah argumentasi yang terlalu sumir.
Ia mengatakan adanya pasal penerbitan SP3 ini justru akan membuat KPK akan semakin hati-hati dalam menentukan sesesorang bersalah atau menjadi tersangka. Menurutnya kehati-hatian ini menjadi sangat penting untuk kepastian hukum dan menjaga hak asasi manusia.
Menkumham Yasonna Laoly (kiri) menerima hasil revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas (kedua kiri) disaksikan Menpan RB Syafruddin (ketiga kiri) saat Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 17 September 2019. (Foto: Antara/M Risyal Hidayat)
"Bukankah dalam hukum ada adagium lebih baik melepas 100 orang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tak bersalah?” katanya.
Dia juga mengatakan penerbitan SP3 ini juga akan tetap menjaga marwah lembaga KPK sebagai lembaga yang tetap mendapat kepercayaan masyarakat.
"Bukti menunjukkan bahwa KPK kalah dalam pra peradilan melawan Budi Gunawan dan Hadi Purnomo yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka. Selain itu, sampai saat ini, RJ Lino sudah 4 tahun ditetapkan sebagai tersangka, lalu prosesnya sampai selama itu untuk membawa RJ Lino sampai ke meja pengadilan? Kalau belum mampu mengumpulkan alat bukti membawa RJ Lino ke pengadilan, lantas kenapa statusnya menjadi tersangka?" katanya.
Baca juga: Ada Kepentingan Politik Sama dalam Pengesahan UU KPK
Mengenai penetapan pegawai KPK sebagai aparatur sipil negara (ASN), Bara JP menyebut hal ini untuk memberi kepastian status bagi mereka yang bekerja di KPK, termasuk hak dan kewajiban, dan perlindungan pada masa depan mereka.
Menurut Bara JP, kekhawatiran sebagian kalangan bahwa status ASN bagi pegawai KPK akan mengurangi independensi mereka karena akan terikat pada aturan ASN, merupakan kekhawatiran yang berlebihan.
"Bukankah dalam Pasal 3 jelas tertulis tugas dan wewenang KPK, tentu termasuk tugas dan wewenang pegawainya, adalah independen?" []