TAGAR.id, Jakarta - Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, menyesalkan banyak hakim yang terseret kasus dugaan suap dalam pengaturan vonis.
Terbaru, 3 hakim PN Jakarta Selatan jadi tersangka terkait dugaan suap vonis lepas perkara korupsi persetujuan ekspor crude palm oil (CPO).
Bahkan salah satu hakim yang mengadilinya dalam kasus dugaan korupsi impor gula, Ali Muhtarom, turut menjadi tersangka kasus dugaan suap pengaturan vonis lepas kasus korupsi CPO itu.
"Ya itu patut disesalkan," kata Tom di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, 14 April 2025.
Tom mengatakan, sejak awal dirinya hanya berharap ke Sang Pencipta. "Dari awal saya sempat bilang, kita serahkan ke Yang Maha Kuasa. Tetap percaya sama Yang Maha Adil, Maha Mengetahui. Senantiasa bersikap positif, kondusif," ujar Tom.
Hakim Tom Lembong Diganti
Hakim Ali Muhtarom menjadi 1 dari 3 hakim yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung terkait dugaan suap vonis lepas perkara korupsi persetujuan CPO. Karena Ali terseret kasus suap, susunan majelis hakim yang mengadili Tom pun diganti.
"Menimbang bahwa oleh karena hakim anggota atas nama Ali Muhtarom, S.H., M.H., sedang berhalangan tetap dan tidak dapat bersidang lagi, maka untuk mengadili perkara tersebut perlu ditunjuk hakim anggota untuk menggantikan," kata Ketua Majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika membacakan penetapan susunan majelis, Senin (14/4).
Dennie mengatakan, hal ini dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 26 UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor dan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Berikut susunan majelis hakim baru yang mengadili Tom Lembong:
- Ketua Majelis Hakim: Dennie Arsan Fatrika
- Hakim Anggota: Purwanto S Abdullah dan Alfis Setiawan
- Kasus Suap Vonis Lepas Ekspor CPO
Ali dijerat sebagai tersangka bersama Djuyamto dan Agam Syarif Baharudin. Mereka merupakan majelis hakim yang menjatuhkan vonis lepas terhadap terdakwa korporasi di kasus korupsi ekspor CPO.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, menyebut ketiga hakim tersebut diduga turut menerima suap dalam pengaturan vonis perkara korupsi persetujuan ekspor CPO tersebut.
Perkara tersebut bermula saat pengacara tersangka korporasi Ariyanto yang juga dijerat sebagai tersangka dalam kasus vonis lepas itu melakukan kesepakatan dengan panitera muda perdata Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Wahyu Gunawan. Saat penanganan kasus ini, Wahyu merupakan panitera di PN Jakarta Pusat.
Kesepakatan tersebut yakni untuk mengurus perkara korupsi korporasi persetujuan ekspor CPO tersebut dengan permintaan agar perkara tersebut diputus ontslag van alle rechtavervolging (lepas dari segala tuntutan hukum). Ariyanto disebut menyiapkan uang sebesar Rp 20 miliar.
Kesepakatan itu kemudian disampaikan kepada Muhammad Arif Nuryanta. Saat penanganan kasus ini, Arif masih menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.
Qohar menyebut, Arif menyetujui permintaan tersebut. Namun, ia meminta agar uang Rp 20 miliar tersebut dilipatgandakan menjadi 3 kali lipat, sehingga total uang yang mesti disiapkan adalah Rp 60 miliar. Permintaan tersebut kemudian diteruskan kembali kepada Ariyanto dan langsung disetujui oleh Ariyanto.
"Kemudian, setelah disampaikan, beberapa waktu kemudian Ariyanto Bakri menyerahkan uang Rp 60 miliar dalam bentuk mata uang dolar Amerika Serikat kepada Wahyu Gunawan," ucap Qohar.
Uang tersebut kemudian diserahkan kepada Arif. Saat itu, kata Qohar, Wahyu juga mendapat fee sebesar USD 50 ribu sebagai jasa penghubung.
Setelah penerimaan uang itu, Arif kemudian menunjuk tiga orang hakim yang akan mengadili perkara korupsi persetujuan ekspor CPO tersebut. Susunannya terdiri dari Djuyamto selaku Ketua Majelis Hakim, dan Agam Syarif Baharudin dan Ali Muhtarom selaku hakim anggota.
Setelah surat penetapan sidang diterbitkan, Arif kemudian memanggil Djuyamto dan Agam Syarif. Saat itu, Arif memberikan uang dengan pecahan mata uang dolar Amerika Serikat, yang bila dirupiahkan setara Rp 4,5 miliar.
Qohar mengungkapkan, uang tersebut diberikan sebagai uang untuk baca berkas perkara. Saat itu, lanjutnya, Arif menyampaikan kepada keduanya agar perkara tersebut diatensi. Uang itu kemudian dibagi-bagi oleh Agam Syarif bersama Djuyamto dan Ali Muhtarom.
Tak sampai di situ, sekitar bulan September atau Oktober 2024, Arif kembali menyerahkan uang dalam bentuk dolar Amerika Serikat yang bila dirupiahkan senilai Rp 18 miliar kepada Djuyamto.
Oleh Djuyamto, uang tersebut kemudian dibagi tiga dengan porsi pembagian sebagai berikut:
- Agam Syarif menerima uang senilai Rp 4,5 miliar;
- Djuyamto menerima uang senilai Rp 6 miliar; dan
- Ali Muhtarom menerima uang senilai Rp 5 miliar.
Namun, rincian tersebut bila ditotal maka jumlahnya Rp 15,5 miliar. Masih ada Rp 2,5 miliar belum diketahui ke mana. Akibat perbuatannya, ketiga hakim tersebut disangkakan melanggar Pasal 12 c juncto Pasal 12B juncto Pasal 6 ayat (2) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. []