Jakarta - Produsen pesawat terbang terbesar di dunia, Boeing, mengumumkan telah memberhentikan Chief Executive Officer (CEO) mereka Dennis A. Muilenburg pada akhir pekan lalu. Keputusan tersebut diambil oleh perusahan Amerika Serikat itu lantaran Muilburg dianggap tidak bisa menanggulangi dampak multiple effect akibat dua kecelakaan Boeing 737 MAX yang menimpa Lion Air dan Ethiopian Airlines beberapa waktu lalu.
Dalam keterangan yang dikutip dari laman resmi perusahaan pada Selasa 24 Desembe 2019, produsen burung besi tersebut selanjutnya menunjuk David L. Calhoun sebagai pemimpin tertinggi yang mulai efektif bekerja pada 13 Januari 2020 mendatang. "Atas nama seluruh Dewan Direksi, kami senang bahwa Dave telah setuju untuk memimpin Boeing di saat yang kritis ini," ujar salah satu direktur Boeing Lawrence W. Kellner.
Dewan direksi berharap, akan terjadi perubahan dalam kepemimpinan pejabat baru. Hal tersebut dinilai penting untuk mengembalikan kepercayaan pada perusahaan di masa mendatang melalui perbaikan hubungan dengan regulator, pelanggan, dan semua pemangku kepentingan lainnya.
Boeing mengklaim bakal beroperasi dengan komitmen baru untuk transparansi penuh, termasuk komunikasi yang efektif dan proaktif dengan Federal Aviation Administration (FAA) "Dave memiliki pengalaman industri yang mendalam dan rekam jejak yang terbukti dari kepemimpinan yang kuat. Dia juga mengakui tantangan yang harus kita hadapi. Dewan dan saya berharap keputusan ini menandai jalan baru untuk perusahaan kami," sambung Kellner.
Otoritas penerbangan AS, FAA belum mencabut sanksi larangan terbang bagi pesawat Boeing 737 Max meskipun sudah habis masa berlakunya. (Foto: Reuters).
Pada kesempatan yang sama, CEO Boeing terpilih David Calhoun tetap optimistis atas keberlanjutan produksi 737 Max dan eksistensi perusahaan di masa yang akan datang. "Saya sangat percaya pada masa depan Boeing dan 737 MAX. Saya merasa terhormat untuk memimpin perusahaan hebat ini dengan 150.000 karyawan yang berdedikasi penuh bagi kelangsungan industri penerbangan," tegasnya.
Seperti yang diketahui, pada masa kepemimpinan Muilenburg, Boeing mengalami depresi berat menyusul kecelakaan tragis yang menimpa produk terbarunya yakni 737 MAX di Indonesia dan Ethiopia. Total korban jiwa atas musibah tersebut berjumlah 346 orang.
Akibatnya, beberapa negara terpaksa membekukan pengoperasionalan produk tersebut menyusul hasil investigasi Federal Aviation Administration (FAA) yang menduga terdapat anomali fungsi terhadap sistem kenavigasian pesawat. Indonesia merupakan salah satu dari banyak negara yang melarang pesawat berbandrol sekitar US$125 juta itu untuk terbang di langit nusantara. Boeing sendiri disebut-sebut menelan kerugian sebesar 9 miliar dolar Amerika Serikat (AS) selama masa krisis 737 MAX.

Krisis itu membuat Boeing akan menghentikan sementara produksi 737 Max pada Januari 2020. Keputusan ini diambil setelah melihat sanksi yang dijatuhkan otoritas penerbangan AS (Administrasi Penerbangan Federal - AFF) belum akan mencabut sanksi larangan terbang untuk Boeing 737 Max pasca dua kecelakaan di Indonesia dan
Ethopia. Padahal waktu itu, FAA hanya menjatuhkan sanksi grounded (tidak boleh terbang) selama sembilan bulan dan sudah habis masa berlakunya. Pihak Boeing berharap pesawat yang merupakan pengembangan dari keluarga 737 Next Generation itu sudah bisa terbang pada akhir tahun ini setelah berakhirnya sanksi larangan terbang itu. Namun FAA belum akan memberikan sertifikasi Boeing 737 Max bisa terbang secepat itu.
Boeing dalam sebuah pernyataan menyebutkan bahwa perusahaan tidak akan menghentikan pekerja bagian produksi 737 Max. Namun Boeing mengaku penghentian produksi ini akan mempengaruhi pasokan dan kinerja perusahaan yang lebih luas. []
Baca Juga:
- Bos Boeing Akui Salah Soal Kecelakaan B 737 Max
- Boeing 737 Max Boleh Terbang Asal Warga AS Merasa Aman