Jakarta - Seorang buruh migran Indonesia di Hong Kong Yuli Riswati ditahan oleh petugas selama 28 hari di Pusat Imigrasi Castle Peak Bay. Yuli yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga yang aktif memposting tulisan dan foto soal aksi unjuk rasa pro demokrasi menolak RUU Ekstradisi itu menghadapi kemungkinan dideportasi karena tinggal terlalu lama di Hong Kong.
Yuli yang sudah bekerja selama 10 tahun itu ditahan karena tidak memiliki visa kerja yang valid. Ia kerap mengirimkan tulisan yang menyuarakan hak kaum buruh migran ke sebuah surat kabar Indonesia yang terbit di Hong Kong, SUARA. Di koran ini juga terdapat reporter asal Indonesia, Veby Mega Indah yang saat ini mata kanannya mengalami kebutaan akibat ditembak polisi saat meliput aksi unjuk rasa.
Yuli aktif menulis di sejumlah media termasuk di halaman Facebook "Indonesia Konseling BMI" yang mengantarkannya meraih sejumlah penghargaan sastra. Bahkan tahun lalu, ia mendapat juara di ajang Taiwan Literature Award for Migrants.
Mulanya, ketika protes masyarakat Hong Kong yang menolak RUU Ekstradisi terjadi, Yuli mencoba untuk menggali informasi dengan membaca berita. Yuli juga turun langsung ke lapangan untuk melihat kondisi sebenarnya dan kemudian menulisnya agar orang-orang Indonesia di Hong Kong tidak khawatir dengan apa yang sebenarnya terjadi.

Pada tanggal 23 September 2019, Yuli ditangkap Departemen Imigrasi Hong Kong di tempat tinggalnya. Pada 4 November 2019, pengadilan setempat memutuskan Yuli tidak bersalah karena tak ditemukan bukti yang cukup.
Namun, diketahui ia telah melebihi izin tempat tinggal atau overstay. Alih-alih dilepas untuk mengurus izin, Yuli justru dipindahkan ke Pusat Imigrasi Castle Peak Bay (CIC, Castle Peak Bay Immigration Centre). Petugas menahan Yuli dengan dalih tidak memiliki teman dan tempat tinggal di Hong Kong. Padahal majikannya, telah berkali-kali meminta Yuli dilepaskan untuk kembali bekerja sebagai perawat lansia.
Ketua Federasi Serikat Pekerja Rumah Tangga Asia di Hong Kong (FADWU), Dang mengaku terkejut mendengar kasus tersebut. Pasalnya perkara imigran overstay itu sudah biasa karena biasanya mereka sibuk dengan pekerjaannya yang menyita waktu.
"Dalam kasus seperti ini, Imigrasi selalu memperbolehkan pekerja memperpanjang visanya tanpa kerepotan berkepanjangan. Saya tidak pernah melihat kasus seperti ini, di mana Imigrasi sampai mendatangi pekerja ke tempat tinggalnya dan menangkapnya hanya gara-gara visanya habis masa berlaku,” katanya seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Tagar, Minggu, 1 Desember 2019.
Baru pada 8 November 2019, Yuli diperbolehkan untuk mengurus perpanjangan visa. Namun, tiga hari kemudian Imigrasi kembali mengeluarkan keputusan deportasi. Yuli kemudian mengajukan banding. Para pengacara Yuli, meminta imigrasi untuk memberikan penangguhan sampai keluar hasil pengurusan perpanjangan visa, namun tidak mendapat tanggapan.
Menurut koordinator regional untuk International Domestic Workers Federation (IDWF), Fish Ip mengatakan kejadian yang dialami Yuli merupakan suatu hal yang jarang terjadi. Diduga kuat kasus ini merupakan intervensi politik mengingat Yuli mendukung para demonstran Hong Kong. “Apa yang dihadapi Yuli ialah kejanggalan praktik dari Departemen Imigrasi, yang kemungkinan melanggar hukum. Jelas ada tekanan politik terhadap Yuli karena ia menulis dan menunjukkan dukungannya pada demonstran Hong Kong,” katanya.
Saat ini kondisi Yuli sangat memprihatinkan, dia terkena demam dan muntah-muntah. Ia yang sebelumnya menolak, akhirnya setuju untuk dipulangkan ke Indonesia. Sebab ia merasa tidak tahu sampai kapan akan ditahan Imigrasi. "Saya terpaksa menulis bahwa saya menarik aplikasi visa. Saya akan kembali ke Indonesia untuk mengurus aplikasi visa dari sana.” Yuli menangis saat menceritakan situasinya pada teman-teman yang menjenguknya. []
- Baca Juga: Buruh Migran Perempuan Masih Rentan Kekerasan dan Eksploitasi
- Hitam Putih Kehidupan Buruh Migran