Jakarta – Aliansi Serikat Pekerja Sektor tekstil, Garmen, sepatu dan kulit mencatat sejumlah buruh tetap masuk kerja meski terkonfirmasi positif Covid-19. Mereka terpaksa bekerja karena terancam tidak dapat upah bila absen dengan alasan sakit.
Buruh tidak memperoleh jaminan upah bila mereka bekerja dari rumah atau work from home (WFH) karena statusnya merupakan pekerja kontrak atau pekerja lepas.
Sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja disahkan, banyak buruh dengan status pegawai tetap mengalami pemutusan hubungan kerja atau PHK dan diperkerjakan kembali dengan status pekerja lepas.
Dengan begitu buruh hanya akan memperoleh bayaran sesuai dengan jam kerja mereka. Buruh berhadapan dengan ancaman risiko kesehatan yang tinggi dengan jaminan yang minim.
Hal ini diperparah dengan adanya Omnibuslaw pemerintah telah keliru menerapkan Omnibuslaw pada saat pandemi Covid akibatnya negara tak bisa melindungi rakyatnya.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal mengatakan bahwa pandemi Covid-19 di gelombang dua ini saat ini didominasi oleh para pekerja buruh yang bekerja di sektor industri manufaktur atau fabrikasi.
“Manufaktur atau pabrik ini ada dua kategori ada padat karya, dan padat modal. Oleh karena itu pendekatannya enggak bisa sama antara perkantoran dengan pabrik,” ujar Said Iqbal saat diwawancarai Tagar TV, Rabu, 21 Juli 2021.
Untuk sektor pabrik tidak bisa untuk di pekerjakan dari rumah beda hal nya dengan pegawai kantor. Iqbal mengatakan jika mereka di WFH kan, maka itu berarti diliburkan maka akan lebih tepat penyebutannya diliburkan dengan sistem kerja bergilir.
“Berdasarkan hasil data dan fakta lapangan yang ditemukan oleh KSPI lebih dari 10 persen buruh pabrik atau manufaktur, terpapar Covid-19,” ujarnya.
Ketika dilakukan tracing oleh perusahaan dan hasilnya positif, buruh tersebut mau tidak mau harus di liburkan. Persoalannya pabrik tidak mau meliburkan buruh tersebut karena jika diliburkan pabrik akan rugi.
“Seminggu saja karyawan diliburkan pabrik akan rugi, apalagi di sektor padat karya. Karena proses produksi kan enggak bisa di lompat maka harus semua bekerja, kalau bergilir itu kan bisa jadi shift satu bekerja shift 2 libur, dan seterusnya,” ucapnya.
“Hal ini diperparah dengan adanya Omnibuslaw, pemerintah telah keliru menerapkan Omnibuslaw pada saat pandemi Covid. Akibatnya negara enggak bisa melindungi rakyatnya, kesehatan enggak bisa dilindungi, kesejahteraannya terkesploitasi, dan rakyat makin susah,” ujarnya.
Iqbal juga mengatakan dalam aturan Omnibuslaw telah mengubah aturan karyawan kontrak dengan kontrak harian dan upah dihitung jam. Maka hal itulah yang membuat para buruh lebih mempertahankan ekonominya daripada menjaga kesehatannya.
Ia juga meminta kepada pemerintah jika ingin laksanakan PPKM darurat maka sebaiknya buat bansos untuk rakyat dan jangan ada ketidakselarasan antara menteri satu dengan yang lainnya.
“Di satu sisi Menko Inves dan Maritim dan Menaker, tau ga menteri perindustrian mengeluarkan izin operasional pabrik antara boleh 50 persen dan 100 persen melalui IOM-KI. Satu sisi Menko bilang PPKM darurat, satu sisi Menaker bilang pengaturan jam kerja eh enak aja Menper mengizinkan 100 persen,” ujarnya.
(Selfiana)