Catatan Kritis Aksi Mahasiswa 23-24 September 2019

Sebagai aktivis mahasiswa tahun 1997-1998 saya sangat memaklumi jika mahasiswa saat ini terobsesi untuk menorehkan sejarah di zamannya.
Demonstran membalik mobil dan membakar ban di depan kampus Unhas. (Foto: Tagar/Aan Febriansyah)

Oleh: David Pajung*

Sebagai aktivis mahasiswa tahun 1997-1998 saya sangat memaklumi dan memahami jika adik-adik mahasiswa saat ini terobsesi untuk menorehkan sejarah di zamannya dan pada sisi lain tetap ingin menjaga stigma mahasiswa sebagai agent of change (agen perubahan), pengarah peradaban, benteng demokrasi, dan penjaga gerakan moral kelas menengah selaku creative minority.

Terhadap label tersebut sudah menjadi permakluman publik bahwa ketika mahasiswa bergerak pertanda dan indikasi ada sistem yg berjalan abnormal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Suara mahasiswa adalah representasi kegelisahan publik dimana publik terposisikan sebagai silent majority (mayoritas diam ) dan mahasiswa selaku creative minority (meminjam istilah Arnold Toynbee). 

Tak perlu mahasiswa meminta legitimasi formal dari publik untuk memainkan peran-peran selaku instrumen agent of change tersebut karena secara sosial stigma itu telah diperoleh dari dua status yaitu mahasiswa adalah kelompok terdidik/calon intelektual dan mahasiswa adalah entitas independen yang bebas dari kepentingan politik dan politisi.

Demo RicuhPolisi menembakkan gas air mata dan tembakan Water Canon, untuk memukul mundur oknum massa di depan kantor DPRD Sulsel, (Foto: Tagar/Lodi Aprianto)

Karakter sebagai gerakan kaum intelektual yang independen ini telah tertoreh dalam napak tilas kebangsaan kita mulai dari gerakan Budi Utomo (1908), Sumpah Pemuda (1928), Revolusi (1945), angkatan 66, Malari 74, NKK-BKK 78 , Reformasi 98. Ketujuh gerakan monumental pemuda-mahasiswa ini selalu ditandai dengan ciri dan karakter yaitu konsepsional (intelek) dan independen.

Kita kembali pada apa yang terjadi dua hari terakhir ini saat demonstrasi yang mengatasnamakan gerakan mahasiswa untuk menuntut penghentian pembahasan RUU KUHP, protes revisi UU KPK, RUU Kemasyarakatan, RUU Minerba, dan Pertanahan.

Jika mencermati narasi dan isu yang diangkat oleh adik-adik mahasiswa sesungguhnya koreksi dan reaksi terhadap RUU tersebut masih berada dalam domain selaku gerakan agent of change. Problem yang sesungguhnya terjadi saat ini adalah ketika isu gerakan mengalami pembelokan ke arah gerakan inkonstitusional yaitu ingin menghambat pelantikan presiden terpilih yang telah ditetapkan oleh KPU dan diperkuat oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan pembelokan isu untuk meminta Presiden Jokowi mundur.

Pembelokan isu demonstrasi membuat aksi mahasiswa ini kehilangan rih gerakan dan simpati rakyat mayoritas selaku silent majority yang notabene juga pemilik suara dalam Pemilu 2019 lalu yang telah menjatuhkan pilihan dan mandat kepada Jokowi-Ma'ruf Amin. 

Demo AnarkisAksi demo ribuan mahasiswa ke gedung DPRD Sumbar berujung anarkis, mahasiswa mengobrak abrik isi ruang paripurna. (Foto: Tagar/Rina akmal)

Tak ayal bahwa berbagai indikasi awal yang beredar dalam masyarakat umum bahwa gerakan mahasiswa ini bukanlah gerakan moral yang independen sangat berbeda dengan gerakan heroik mahasiswa 98 lalu. Kehancuran dan kerusakan yang ditimbulkan dari aksi-aksi atas nama gerakan mahasiswa selama dua hari terakhir telah menciderai harapan masyarakat. 

Belum lagi kemacetan dan korban di berbagai pihak (peserta demo dan aparat) telah meyakinkan publik bahwa sesungguhnya aksi ini adalah aksi kamuflase dan fatamorgana gerakan moral yang sesungguhnya adalah gerakan politik pragmatis yang tidak independen karena disusupi oleh berbagai kepentingan dan kelompok politik tertentu yang juga memiliki agenda terselubung yang inkonstitusional yang justru hendak menciderai proses dan hasil demokrasi yang telah kita lalui pada Pemilu April 2019 lalu.

Harapan publik bahwa gerakan mahasiswa saat ini adalah bagian dari koreksi moral-intelektual yang ingin mewakili mayoritas publik dengan sendirinya menjadi runtuh dan unlegitimated bahkan mendapat cibiran publik yang tanpa disadari oleh rekan-rekan aktivis mahasiswa juga telah menghilangkan kekaguman publik atas perilaku aksi mahasiswa saat ini.

Jika kawan-kawan mahasiswa ingin kembali meraih simpati masyarakat Indonesia maka pastikanlah bahwa setiap aksi moral yang kawan-kawan lakukan tetap terkontrol sebagai perjuangan nilai yang berada dalam koridor gerakan moral yang independen (bebas tunggangan agenda politik), menawarkan solusi intelektual yang bernas dan tidak menciderai kepentingan dan fasilitas publik.

Tanggapan dan pandangan saya ini sebagai kegelisahan saya yang pernah mengecap jatuh-bangunnya pergerakan mahasiswa di masa lalu. Saya hanya ingin mengingatkan adik-adik mahasiswa sehingga ke depan gerakan moral mahasiswa bebas dari tudingan dan sinisme publik yang diarahkan kepada gerakan mahasiswa. []

*David Pajung, Pengurus DPP Bara JP dan Mantan Ketua Umum GMKI

Berita terkait
Mahfud MD Tawarkan Tiga Opsi Kepada Presiden Jokowi
Dalam pertemuan tersebut Mahfud menawarkan tiga opsi terkait UU KPK yang telah disahkan DPR.
Rektor dan Dosen Diberi Sanksi Jika Mahasiswa Demo Lagi
Menristekdikti akan memberikan sanksi kepada rektor dan dosen perguruan tinggi yang mengizinkan mahasiswa demo lagi di Gedung DPR.
Demonstrasi Mahasiswa Mirip Kerusuhan Mei 2019
Kapolri menyatakan demonstrasi mahasiswa di gedung DPR yang berujung rusuh beberapa waktu lalu mirip dengan pola kericuhan pada 21-22 Mei 2019.
0
Mensos Kobarkan Semangat Wirausaha Ribuan Ibu-ibu KPM PKH
Menteri Sosial Tri Rismaharini membakar semangat para penerima manfaat yang hadir di Pendopo Kabupaten Malang, Sabtu, 25 Juni 2022.