Cerita Abdi Dalem di Makam Raja Mataram Kotagede

Kompleks makam Raja-raja Mataram di Kotagede Yogyakarta siang itu cukup tenang. Matahari bersinar cerah meski panasnya tak langsung menimpa tanah.
Dua peziarah dan seorang abdi dalem keluar dari area utama makam, di kompleks pemakaman Raja-raja Mataram di Kotagede, Yogyakarta, Kamis, 12 Desember 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Yogyakarta - Suasana kompleks makam Raja-raja Mataram di Kotagede, Yogyakarta, siang itu, Kamis 12 Desember 2019, cukup tenang. Beberapa abdi dalem duduk bersila di dalam pendopo yang berfungsi sebagai kantor.

Matahari bersinar cukup cerah, meski panasnya tak langsung menimpa tanah. Daun pepohonan besar seperti ikhlas menjadi penahan, menghalangi terik agar orang di bawahnya tak kepanasan.

Angin siang yang sesekali bertiup pelan, menggiring gumpalan mendung ke atas kompleks pemakaman. Seolah tak ingin mentari dapatkan celah, untuk menyapa dan tebarkan gerah.

Tapi, tak jarang sinar matahari berhasil menembus rimbun dedaunan dan awan. Menghangatkan apa pun yang diterpa oleh cahayanya.

Satu unit kipas angin yang berdiri di dalam pendopo, seperti cukup mampu menyejukkan para abdi dalem di depannya.

Aku menyapa para abdi dalem, lalu meminta izin untuk masuk ke area makam dan sendang di kompleks itu. Salah satu dari mereka menjelaskan tata tertib untuk masuk ke area makam. Termasuk harus mengenakan pakaian adat dan melepas alas kaki.

Setelah menjelaskan, abdi dalem itu dengan ramah mempersilakan untuk berkeliling dan menikmati suasana di tempat itu.

Pintu gerbang menuju area pemakaman berukuran cukup tinggi, dengan ornamen tradisional khas bangunan zaman dahulu. Daun pintunya terbuat dari kayu, juga berornamen lawas.

Di sebelah kiri gerbang area makam, tiga pedupaan berjejer. Bekas-bekas lilin dan sisa pembakaran terlihat jelas di situ.

Beberapa pria keluar dari area makam. Kata abdi dalem, mereka adalah tukang dan pekerja yang sedang merenovasi sebagian kompleks pemakaman tersebut.

Siapa pun akan dilarang masuk kalau tidak pakai pakaian adat. Menteri pun masuk ke sini kalau tidak pakai pakaian adat, saya berani menegur. Tidak terkecuali.

Makam Raja MataramDua abdi dalem membantu peziarah mengenakan surjan atau pakaian adat, untuk masuk ke area utama makam, di kompleks pemakaman Raja-raja Mataram di Kotagede, Yogyakarta, Kamis, 12 Desember 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Aturan dan Tata Tertib Ziarah

Makam yang ada di situ berjumlah 627, 81 makam di antaranya merupakan makam pokok, termasuk di dalamnya makam Ki Ageng Pamanahan, Nyi Ageng Pamanahan, Panembahan Senopati, Pangeran Mangkubumi, dan Sri Sultan Hamengkubuwono II.

Hastono Darwinto, seorang abdi dalem di tempat itu, mengatakan kompleks pemakaman yang menjadi satu dengan kompleks masjid besar Kotagede tersebut, dibangun pada abad ke-16, atau sekitar tahun 1.500-an.

Dengan tutur kata yang teratur dan halus, Hastono menjelaskan tentang aturan yang berlaku di situ. Mulai dari pantangan hingga kepercayaan para peziarah.

Selain harus mengenakan surjan untuk peziarah pria dan kemben untuk peziarah wanita, saat memasuki area makam pun harus dalam keadaan bersih, atau tidak sedang haid. Peziarah juga dilarang memotret di area makam.

Jika ada yang mencoba melanggar larangan dan ketentuan itu, sekitar 50 abdi dalem yang menjaga kompleks makam, siap untuk memperingatkan mereka.

"Siapa pun akan dilarang masuk kalau tidak pakai pakaian adat. Menteri pun masuk ke sini kalau tidak pakai pakaian adat, saya berani menegur. Tidak terkecuali," ujarnya.

Hal itu kata dia, karena aturan tersebut diberlakukan sejak zaman dahulu, sekaligus bertujuan untuk melestarikan budaya.

Untuk memudahkan peziarah, para abdi dalem penjaga kompleks pemakaman itu menyiapkan pakaian adat untuk disewakan. Tarif sewa termasuk bea masuk ke area makam sebesar Rp 35 ribu.

"Kita sewakan pakaian itu Rp 35 ribu. Itu dengan tarif masuk lokasi makam. Boleh juga bawa pakaian adat dari rumah," tambahnya.

Makam Raja MataramDua peziarah membasuh wajah menggunakan air sumur yang ada di Sendang Seliran, Kamis, 12 Desember 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Para pengunjung dapat berziarah ke makam mulai pukul 10.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB. Setelah pukul 17.00 WIB, gerbang makam ditutup. Tapi, pengunjung yang sudah mendapatkan izin tertulis dari Keraton Yogyakarta, boleh memasuki area makam di luar jam buka, bahkan pada malam hari.

Percakapan terhenti ketika beberapa peziarah datang. Seorang pria paruh baya dan seorang pemuda berniat masuk ke area makam. Pria paruh baya itu ramah menyapa semua orang di pendopo, lalu menjabat tangan mereka satu per satu.

Hastono dan seorang abdi dalem lain kemudian berdiri, membantu kedua peziarah itu mengenakan surjan.

Sumur Bertuah di Sendang Seliran

Matahari semakin meninggi. Angin yang tadi membawa mendung menutupi tempat itu, seperti sengaja menggoda, meniup awan pergi menjauh dan membiarkan sinar mentari menyengat kulit.

Hastono melanjutkan penjelasannya tentang para peziarah. Menurutnya, sebagian besar peziarah datang pada malam hari. Tapi, mereka tidak berziarah ke makam, melainkan ke sendang atau mata air di kompleks makam tersebut.

Waktu yang paling diminati oleh peziarah, lanjut Hastono, adalah pada malam Jumat Pon. Karena Panembahan Senopati dilahirkan dan wafat pada hari Jumat Pon.

Makam Raja MataramGerbang utama untuk memasuki area kompleks pemakaman Raja-raja Mataram di Kotagede, Yogyakarta, Kamis, 12 Desember 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Di area itu ada dua sendang yang dipisahkan dengan tembok pembatas. Untuk sampai di sendang wanita, peziarah harus lewat di depan sendang pria.

Suasana di kedua sendang itu sangat tenang, bahkan pada siang hari sekalipun. Bekas pembakaran lilin dan dupa ada di salah satu sudut masing-masing sendang.

Puluhan ekor ikan lele yang konon berusia puluhan tahun, berenang bersama jenis ikan lain di kedua sendang.

Di ujung tembok sendang pria, terdapat sumur kecil dengan gayungnya. Dua pria terlihat saling menuangkan air sumur itu pada rekannya, lalu digunakan untuk membasuh wajah.

Kata Hastono, sebagian peziarah meyakini air dari sumur itu dapat mengobati berbagai macam penyakit. Menurutnya kesembuhan itu wajar saja, karena kesembuhan sangat tergantung pada sugesti dan keyakinan.

"Kalau mereka yakin, penyakitnya sembuh. Yang sembuh banyak. Obat untuk apa saja. Kalau malam banyak sekali yang ambil air," ujarnya.

Sendang itu dulunya hanya digunakan oleh keluarga kerajaan. Itulah sebabnya Panembahan Senopati memberi nama sendang tersebut dengan Sendang Seliran, yang artinya mata air untuk pribadi.

Bukan hanya mengambil air sumur, tak jarang peziarah datang untuk mandi di sendang itu. Mereka mandi menggunakan air sendang yang dihuni puluhan ekor ikan.

"Laki-laki tidak boleh mandi di tempat perempuan, begitu juga sebaliknya. Kalau cuma melihat ke sendang, boleh," tuturnya.

Makam Raja MataramRombongan peziarah memasuki area Sendang Seliran di kompleks pemakaman Raja-raja Mataram di Kotagede, Yogyakarta, Kamis, 12 Desember 2019. Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Adakah Kejadian Mistis?

Sepertinya kurang lengkap jika menceritakan kompleks pemakaman tanpa mengulik hal mistis di dalamnya.

Hastono mengakui, banyak kejadian mistis yang dialami di tempat itu. Tapi, hal semacam itu sangat sulit dibuktikan. Bahkan beberapa yang mengalaminya pun, belum tentu berani menceritakan.

"Mistis? ya ada, tapi yang seperti itu susah dibuktikan. Banyak, Mas. Pepak (macam-macam). Itu enggak semua orang mengalami, enggak bisa diceritakan. Kadang ada yang mengalami, tapi tidak berani cerita, disimpan sendiri. Tapi memang banyak," tuturnya. Ia kemudian bangkit berdiri, bergegas mengantar dua peziarah ke area makam.

Hal yang sama dikatakan abdi dalem lain, Dwi Samekto, berasal dari Surakarta.

Kata Dwi, selama delapan tahun dirinya menjadi abdi dalem di kompleks makam tersebut, sekalipun dia belum pernah menemui atau melihat hal-hal mistis.

"Alhamdulillah belum pernah menemui hal mistis. Itu tidak semua orang pernah menemui yang begitu. Kalau kayak gitu mungkin pas nasibnya bagus, bisa didatangi semar di sini, kayak raja. Semar itu yang dimakamkan di sini," ujarnya.

Makam Raja MataramArea kompleks pemakaman Raja-raja Mataram di Kotagede, Yogyakarta, juga sering digunakan untuk lokasi pemotretan, Kamis, 12 Desember 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Ritual Tahunan Nguras Sendang

Dalam waktu kurang dari satu jam, peziarah sudah datang silih berganti. Tapi sebagian besar hanya datang untuk melihat Sendang Seliran. Hanya enam atau tujuh orang yang berziarah ke makam.

Sebagian mempertanyakan puluhan ikan lele yang panjangnya hampir mencapai satu meter.

Kata Dwi, ikan lele itu merupakan anak turun dari ikan lele peliharaan Panembahan Senopati. Ikan-ikan tersebut tidak boleh dipindahtempatkan, kecuali saat sendang dibersihkan, setiap bulan April.

"Lele umurnya sudah puluhan tahun. Setiap tahun di sini kolamnya dikuras, ritual menguras sendang. Ikannya enggak boleh diambil. Kalau diangkat harus dikembalikan lagi, karena kepercayaannya itu kelangenannya Panembahan Senopati," ucapnya.

Para peziarah tidak pernah merasa terganggu dengan kehadiran puluhan lele itu. Mereka tetap mandi di sendang tersebut. Setelah mandi, tak jarang para peziarah bermeditasi di area sendang. Bahkan beberapa sampai tertidur.

Tapi, jika mereka tertidur, para abdi dalem akan membangunkan mereka pada pagi hari. Paling lambat pukul 05.00 WIB, mereka sudah harus bangun.

Dwi mengatakan, para abdi dalem membangunkan mereka agar lokasi itu kembali bersih pada pagi hari, sehingga pengunjung lain tetap merasa nyaman berada di situ.

"Sebenarnya boleh tidur, yang tidak boleh itu laki-laki tidur di bangsal sendang seliran perempuan dan sebaliknya. Kalau ada yang menginap, jam 5 pagi itu harus pada keluar semuanya, supaya bersih. Kalau dilihat kan kurang bagus," ujar Dwi.

Dalam membangunkan dan melayani peziarah, abdi dalem yang ada melakukannya dengan sopan dan sabar. Dwi menyebut, dirinya pun seperti itu sejak menjadi abdi dalem.

Menjadi abdi dalem, lanjut Dwi, membuat dirinya lebih sabar dan dewasa dalam bertindak. "Setiap ada masalah bisa berpikirnya lebih dewasa, tidak seperti sebelumnya. Belajar jadi orang tua," tuturnya. []

Baca cerita menarik lain:

Berita terkait
Pawang Ular yang Jarinya Cacat karena Gigitan Kobra
Fani, Pawang ular kobra, jarinya cacat usai digigit kobra. Dari situ dia menjadi pawang ular berbisa. Dia bentuk komunitas menangani serangan ular.
Pocong Perempuan di Rumah Tua Kotagede Yogyakarta
Ada ratusan hantu di rumah tua itu. Ada yang jahat dan baik. Satu yang sering iseng adalah hantu pocong bernama Sumi.
Spot Nasi Gratis di Jalan Wonosari Bantul
Seorang pria paruh baya mengambil sebungkus nasi dari etalase kaca tanpa perlu membayar. Hal ini terjadi di Jalan Wonosari Km 12, Piyungan, Bantul.
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.