TAGAR.id - China tidak ingin ditarik lebih dalam ke dalam perang diplomatik soal Ukraina. Karena itu Beijing mulai mengikuti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) memperketat sanksi ekonomi terhadap Rusia. Jo Harper melaporkannya untuk DW.
Kunjungan Menteri Luar Negeri (Menlu) AS, Anthony Blinken, baru-baru ini ke Beijing, Ibu Kota China, dan keputusan Bank of China untuk selanjutnya membatasi transaksi klien bank-bank Rusia bisa jadi merupakan suatu kebetulan. Tapi ini kemungkinan besar menjadi sinyal pertama keberhasilan kunjungan Blinken ke Beijing.
Stasiun siaran Rusia RBC baru-baru ini melaporkan, Bank of China telah mulai menghentikan transaksi dengan Rusia dalam mata uang yuan, dolar AS, dolar Hong Kong, dan euro melalui akun-akunnya. Juga bank UniCredit dan Akibank melaporkan langkah serupa.
Di bawah sanksi yang diberlakukan AS dan Uni Eropa (UE) terhadap Rusia karena invasinya ke Ukraina, perbankan memang dilarang bertransaksi langsung dengan entitas Rusia yang terkena sanksi. Tetapi selama ini bank dan perusahaan di negara pihak ketiga seperti China tidak secara eksplisit dilarang melakukan bisnis dengan Rusia.
Barat sejauh ini juga tidak menjatuhkan sanksi sekunder kepada bank dan perusahaan di negara-negara non Barat yang melakukan transaksi dengan Rusia.

China semakin hati-hati?
"Saya perhatikan bahwa Bank of China tidak menolak rekening Rusia, tetapi hanya membatasi beberapa aktivitas ketika bank-bank Barat terlibat," kata Eric Hontz, direktur Center for Accountable di Washington kepada DW.
Ini merupakan langkah pencegahan, kata Robert Person, Professor Hubungan Internasional di Akademi Militer Amerika Serikat. "Ini menunjukkan bahwa China mulai khawatir tentang kemungkinan ancaman sanksi sekunder," jelasnya.
Namun Bill Browder, CEO dan salah satu pendiri Hermitage Capital, menyebut perkembangan ini sebagai suatu perubahan yang signifikan. "Ini menandakan tren yang mengkhawatirkan bagi Putin, karena dia berpotensi kehilangan salah satu pendukung terbesarnya,” katanya kepada DW.
Mantan diplomat Uni Eropa Albrecht Rothacher berpendapat, Beijing mulai menyadari bahwa perang Ukraina bukanlah kepentingannya, "dengan stagnasi ekonomi di Eropa dan berkurangnya daya beli di Rusia."
"Lagipula, bisnis AS, UE, dan Inggris di China jauh lebih penting bagi mereka daripada bisnis Rusia, kecuali pengiriman minyak, gas, kayu, dan mineral,” kata Rothacher kepada DW.
Ilustrasi - Bisnis Rusia-China (Foto: dw.com/id - CFOTO/picture alliance)
Rute lain untuk bisnis Rusia
Para ahli percaya bahwa entitas Rusia yang terkena sanksi mencoba melakukan transaksi melalui bank di negara lain yang bersedia mengambil risiko. "Firasat saya adalah bahwa pemain top di China ingin menyerahkan bisnis Rusia ke perusahaan dan bank peringkat kedua dan ketiga, yang dapat tetap berada di bawah radar pemantauan sanksi," jelas Rothacher.
Dia mengatakan, Rusia kemungkinan akan menggunakan bank kecil China lainnya, atau bank Turki atau India, atau bahkan bank di Austria. Tetapi itu akan membuat transaksi lebih mahal dan rumit.
Memang selama ini Rusia bertransaksi dengan beberapa negara untuk menghindari sanksi, seperti Uni Emirat Arab, Turki, Afrika Selatan, dan Brasil. "Misalnya, kami melihat arus perdagangan dan keuangan antara Rusia dan Asia Tengah meningkat secara signifikan. Bank-bank China juga memiliki lokasi di Asia Tengah,” kata Hontz.
Tapi situasi mungkin sedang berubah. "Para pemimpin China dan Rusia telah mengisyaratkan kemitraan strategis dan ekonomi yang semakin dalam, tetapi kenyataannya tidak selalu sesuai dengan retorikanya,” tulis Maia Nikoladze, asisten direktur Economic Statecraft Initiative, dalam blog Atlantic Council baru-baru ini. Ikatan ekonomi China dan Rusia dibatasi oleh kepentingan strategis Beijing, tulis Nikoladze.
"Tindakan Beijing selalu dibatasi oleh kepentingan strategisnya, dan kekhawatiran (bahwa tindakannya) akan memicu sanksi sekunder dari AS,” kata Nikoladze kepada DW. (hp/as)/dw.com/id. []