Clara Yubelia, Usia 19 Tahun Jadi Sarjana Bahasa Jerman

Clara Yubilea Sidharta akrab disapa Lala, anak berkebutuhan khusus pada usia 19 tahun jadi Sarjana Bahasa Jerman. Ia sempat dikira anak nakal.
Clara Yubilea Sidharta akrab disapa Lala. (Foto: Media UNY/Tagar/Andrea Imung)

Yogyakarta - Clara Yubilea Sidharta akrab disapa Lala, penyandang predikat anak berkebutuhan khusus (ABK) pada usia 19 tahun jadi sarjana dengan IPK 3,76.

Lala memang berbeda dari anak-anak pada umumnya. Belakangan saat menginjak usia 14 tahun ia dikenali sebagai ABK tapi tidak merujuk pada kondisi disabilitas. Lala dalam psikologi dikenal ABK dengan kategori intelijensia very superior alias 'Gifted'.

Kemampuan intelijensianya yang luar biasa tersebut, justru membuat Lala memiliki hambatan dalam menempuh pendidikan karena tidak sesuai dengan gaya belajarnya. Ia sulit berdaptasi dengan motode pembelajaran di sekolah. Ini karena materi pelajaran yang disampaikan untuk anak sebaya sudah lebih dulu ia kuasai. Karenanya membuat Lala malas mengikuti pelajaran.

ABK pada kelompok ini biasanya memiliki tingkat intelijensia IQ di atas 130 dalam skala Wechsler. Sementara Lala memiliki tingkat intelejensia dengan IQ tertinggi 145.

“Mama sering bilang, vonis sebagai gifted dan Tes IQ itulah awal musibah, karena semakin tinggi IQ umumnya menambah masalah komunikasi," kata Lala kepada Tagar, Sabtu, 31 Agustus 2019.

Dianggap Anak Nakal

Duduk di bangku sekolah dasar, Lala dikenal sulit diatur, bahkan ia kerap disebut sebagai trouble maker. Predikat nakal yang disematkan pada dara kelahiran 13 Mei 2000 ini membuatnya sampai harus berpindah-pindah sekolah. Untuk menyelesaikan jenjang pendidikan sekolah dasar, Lala tercatat lima kali pindah sekolah.

Kondisi Lala membuat orang tuanya sempat kalang kabut. Bahkan Patricia Lestari Taslim, ibunya, pernah berkecil hati mengetahui kondisinya anak sematawayangnya tersebut, terlebih karena latar belakangnya sebagai guru dan ayahnya yang seorang dosen. Patricia tak tahu anaknya berkebutuhan khusus.

Mama sering bilang, vonis sebagai gifted dan Tes IQ itulah awal musibah, karena semakin tinggi IQ umumnya menambah masalah komunikasi.

“Yang saya tahu saat itu Lala itu trouble maker. Saya memaksakan dia harus sekolah umum dan sekolah negeri. Namanya juga ibu, saya jujur saja waktu itu otoriter ingin anak saya sekolah. Apalagi saya mantan guru,” kenang Patricia.

Pikiran Patricia waktu itu baru terbuka ketika Lala mogok sekolah menjelang ujian nasional. Awalnya Lala tidak mau masuk sekolah karena merasa tidak nyaman dengan kegiatan belajar di sekolah dalam mempersiapkan ujian. Berhasil dipaksa untuk mengikuti ujian tanpa persiapan dan sekadar lulus, Lala ajaibnya lulus dengan nilai yang sangat memuaskan.

“Nilainya bagus-bagus. Saat itulah saya mulai memahami, bahwa kita harus ekstra tenaga mendampingi karena kebutuhan dia berbeda, “ ujar Patricia. 

Memilih Homeschooling

Patricia dan suaminya, Rahardjo Sidharta, memutuskan anaknya mengikuti model belajar alternatif homeschooling dengan memanfaatkan buku bekas milik kakak sepupunya.

Kendati bersekolah di rumah, tidak membuat Lala kehilangan teman. Ia aktif mengikuti berbagai komunitas, seperti komunitas sesama homeschoolers, komunitas menari, dan komunitas musik

Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) merupakan tempat yang paling diminati Lala untuk menghabiskan waktu bersama teman- temannya. 

“Saat itu saya juga suka menulis di blog," kata Lala.

Sering berselancar di dunia maya membuat Lala menguasai berbagai bahasa, di antaranya Inggris, Prancis, dan Jepang.

Untuk mendapatkan predikat lulus, Lala menempuh jalur pendidikan non formal. Kejar Paket B (setara SMP) dilewatinya di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) dan Kejar Paket C (setara SMA) di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).

Syaratnya, IQ Lala harus di atas 130 skala Wechsler. Dan benar ketika Patricia dan Boy mengkonsultasikannya ke psikolog, hasil tes intelijensia Lala kala itu IQ 131. “Itu awalnya saya tahu Lala tergolong ABK,” tambah Patricia.

Selepas ujian kejar paket tersebut, Lala meminta kuliah dengan teman- temannya yang tidak berkebutuhan khusus. Mengikuti saran dari hasil tes IQ, Lala mengambil jurusan bahasa. Di Universitas Negeri Yogyakarta ia mengambil jurusan yang belum dikuasainya yakni Bahasa Jerman.

Lala kuliah pada umur 15 tahun. Ia sering menjadi rebutan saat ada tugas kelompok.

“Lingkungan di UNY inklusif. Dosen dan teman-teman Lala sangat suportif membantunya belajar. Setahun belajar Jerman, dia sudah fasih,” kata Patricia.

Clara dan IbundaClara Yubilea Sidharta (kanan) bersama ibunda, Patricia Lestari Taslim, usai wisuda, Sabtu, 31 Agustus 2019. (Foto: Media UNY/Tagar/Andreas Imung)

Sang Ibu Ikut Kuliah

Lala akhirnya lulus dengan predikat Cumlaude dan diwisuda pada pada Sabtu, 31 Agustus 2019. 

Ada pemandangan tak biasa saat wisudanya digelar. Bukan hanya Lala yang berpakaian toga, Patricia juga mengenakannya.

Patricia memiliki peran yang sangat besar dalam mendukung pendidikan Lala selama di bangku kuliah. Tak sekadar antar jemput untuk memberikan kasih sayang pada Lala yang masih belia, Patricia memutuskan untuk mengambil studi S2 Pendidikan Luar Biasa di kampus yang sama.

Keputusannya itu diambil setelah setahun perkuliahan Lala berjalan. Patricia menimba ilmu jauh dari latar belakang pendidikannya sebelumnya. Kuliah itu diambilnya juga semata-mata untuk menambah bekalnya dalam mendidik Lala.

“Saya merasa tidak cukup bekal untuk membantu Lala. Sudah sakit kepala ini. Sehingga seizin suami saya ingin kuliah lagi, agar punya ilmu yang bermanfaat dalam mendidik Lala ataupun anak-anak gifted lain,” kata Patricia seorang guru seni musik ini.

Tidak mudah bagi Patricia untuk memulai. Selain karena teori-teori yang masih asing, keputusannya untuk studi lanjut kerap jadi bahan candaan koleganya.

“Jadi barang candaan karena dinilai hendak menjadikan Lala sebagai kelinci percobaan dari teori Pendidikan Luar Biasa,” katanya.

Banyak orang tua di luar sana yang bingung anak berkebutuhan khusus ini diapakan. Tidak banyak yang seberuntung kami.

Patricia tidak ciut hati. Untuk mengejar ketertinggalan teori, Patricia menumpang belajar di SLB Marganingsih. Rutin mengikuti kegiatan di SLB dua kali dalam seminggu, ia memperoleh teori terkait pendidikan luar biasa sekaligus mempraktikkannya secara langsung.

“Saya membantu mengajar dan belajar teori-teori pendidikan luar biasa. Tidak dibayar, karena saya yang membutuhkan,” ujar Patricia mengenang.

Usahanya berbuah. Ia hanya membutuhkan waktu tiga tahun untuk menyelesaikan studi lanjut S2. Tepat pada hari ulang tahun ke-19 Lala, Patricia mendapatkan kabar menggembirakan. Dosen pembimbingnya telah menyetujui tesis yang disidangkan. Artinya sesuai kalender akademik, Patricia sudah dapat diwisuda sebulan kemudian pada bulan Juni.

Namun demikian, kelulusannya tersebut ia anggap belum sempurna karena tugasnya yang sesungguhnya di kampus belum selesai. Lala masih berjuang keras di bab-bab terakhir dalam skripsinya.

Karenanya Patricia memutuskan untuk menunda wisuda. Ia berkirim surat kepada Rektor dan Direktur Pascasarjana UNY. Isinya: meminta Patricia diizinkan untuk wisuda Agustus.

“Saya punya keyakinan, tidak lama lagi Lala akan wisuda. Toh tinggal bab akhir. Sambil menunggu Lala, saya bisa cari ilmu lagi sekaligus antar jemput,” kenang Patricia.

Prediksinya tak meleset. 31 Juli 2019, tepat ulang di tahun ke-48 Patricia, Lala giliran memberikan kado berharga yakni menuntaskan yudisium skripsi.

Tugas akhir berupa tesis dan skripsi tak menjadi karya terakhir keduanya. Selepas kuliah, Lala berencana melamar beasiswa tentang pendidikan khusus maupun psikologi di kampus-kampus negeri Paman Sam.

Lala juga berkolaborasi dengan ibunya Patricia dan para orang tua gifted menulis buku untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Akhir bulan ini, bunga rampai bertajuk 'Menyongsong Pagi' siap dirilis. Buku ini mengisahkan best practice pengalaman mereka mengasuh dan mengalami sendiri kehidupan sebagai anak gifted. Lala menjadi satu-satunya anak gifted yang ikut menulis buku tersebut, sekaligus sebagai penulis termuda.

Mereka berharap dengan buku tersebut pengalaman sekaligus ilmu mereka terkait ABK gifted tidak hanya berhenti jadi pengalaman pribadi, namun juga dapat membantu masyarakat luas. Sehingga harapannya pendidikan inklusif dapat dirasakan lebih banyak lagi masyarakat.

“Banyak orang tua di luar sana yang bingung anak berkebutuhan khusus ini diapakan. Tidak banyak yang seberuntung kami mengenal ilmu pendidikan luar biasa di UNY. Kami ingin ilmu ini membumi,” ujar Patricia. []

Berita terkait
Bingung, Sarjana Masih Saja Nganggur? Ini Jawabannya!
Banyak sarjana nganggur lantaran tidak mau melakukan sembarang pekerjaan.
Lima Sarjana Arsitektur Ini Jauh dari Gambaran Suram Iklan Gerindra
Jauh dari gambaran suram iklan Gerindra, lima orang berlatar sarjana arsitektur ini gemilang dalam kariernya.
Pembantu di Rumah Dokter Ini, Sukses Menjadi Sarjana Terbaik
Menjadi pembantu bukan menjadi halangan untuk sukses dan menjadi sarjana terbaik.
0
Dua Alasan Megawati Belum Umumkan Nama Capres
Sampai Rakernas PDIP berakhir, Megawati Soekarnoputri belum mengumumkan siapa capresnya di Pilpres 2024. Megawati sampaikan dua alasan.