Jakarta - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira menilai terobosan dalam Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja soal pembentukan bank tanah bisa berdampak kepada masyarakat ke depannya.
"Masyarakat justru akan kesulitan mengakses tanah karena tujuan awal bank tanah adalah pengadaan lahan untuk proyek infrastruktur," kata Bhima saat dihubungi Tagar, Minggu, 11 Oktober 2020.
Selain itu, kata Bhima, bank tanah sulit untuk memenuhi hak masyarakat terkait kebutuhan tanah. Menurut dia, yang berpotensi menguasai lahan melalui bank tanah adalah pengusaha properti dan pariwisata.
Bhima Yudhistira dalam sebuah diskusi. (Foto: Tagar/YouTube/Bhima Yudhistra).
"Dengan adanya bank tanah justru memunculkan akumulasi tanah untuk kepentingan yang komersil dibandingkan untuk keperluan yang sifatnya publik," ucap Bhima.
Bhima menilai, ide bank tanah ini perlu dikaji kembali. "Jadi ide bank tanah ini perlu dikaji lagi dan membatasi ruang penguasaan aset tanah oleh konglomerat dan investasi asing," ujarnya.
Jika pemerintah berkenan mengkaji kembali soal bank tanah, kata Bhima, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Seperti porsi lahan untuk kepentingan perumahan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) diperjelas, misalnya 40 persen kemudian reforma agraria 40 persen sisanya untuk keperluan publik lainnya.
"Dengan demikian, tidak ada ruang dari bank tanah ini untuk pembangunan yang sifatnya komersil," tutur Bhima.
Sebelumnya, Omnibus Law UU Cipta Kerja menjadi sorotan masyarakat, salah satunya perihal bank tanah. Presiden Joko Widodo berharap dengan adanya bank tanah bisa menjadi solusi dari persoalan pertanahan atau agraria di Indonesia.
"Keberadaan bank tanah diperlukan untuk menjamin kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan sosial, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan dan reforma agraria ini sangat penting untuk menjamin akses masyarakat terhadap kepemilikan lahan dan tanah, dan kita selama ini tidak memiliki bank tanah," kata Jokowi dalam konferensi pers di Istana Bogor, Jumat, 9 Oktober 2020.
Sementara, Menteri Agraria dan Tata Ruang atau Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan A. Djalil mengatakan bank tanah bukanlah istilah baru. Menurut dia, istilah ini sangat familiar dalam industri properti dan perkebunan.
"Misalnya, dalam suatu perusahaan properti. Perusahaana ini memiliki banyak tanah kosong, itu disebut bank tanah. Kemudian perusahaan perkebunan, mereka punya tanah kosong 2.000 hektare, ini juga disebut bank tanah," ucap Sofyan. []
- Baca Juga: Kemen ATR/BPN: Bank Tanah Dukung Kesejahteraan Masyarakat
- Menteri ATR/BPN Jelaskan Peran Bank Tanah dan RDTR