Danang, Pemancing Tegal yang Tidak Takut Setan

Seorang warga Tegal menghayati benar hobi memancingnya. Kerap memancing selama sebulan tapi tak pernah diganggu setan. Seperti apa ceritanya?
Danang Suwanto, pemancing asal Kabupaten Tegal saat menyalurkan hobinya di sebuah waduk dengan latarbelakang pegunungan. Ia kerap hidup sebulan di alam liar demi hobinya tapi tak pernah diganggu setan. (Foto: Danang Suwanto)

Semarang - Demi menuntaskan hasrat hobinya, Danang, pemancing asal Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, bisa menghabiskan waktu hingga sebulan di spot kumpulnya ikan. Gangguan gaib berupa penampakan setan tak pernah dipedulikan lantaran ia tidak pernah takut ataupun mengusik keberadaan mereka.

Langit Kota Semarang terlihat temaram, menjadi penanda siang segera berganti malam. Sore itu, angka di handphone menunjukkan waktu sekitar pukul 17.00 WIB. Tagar baru saja selesai antre mengisi bahan bakar di SPBU kawasan Sukun, Banyumanik ketika melihat sesosok yang berpenampilan beda dari orang-orang di sekitarnya.

Bukan baju atau jaket yang membuatnya beda tapi karena sebuah tas berukuran cukup besar di punggung. Dua alat pancing terlihat menyembul di antara ritsleting kantong tas. Penasaran, Tagar mendekati dan berusaha menyapanya. "Mau ke rumah teman di daerah Fatmawati," ucapnya menyambut ramah, Kamis, 13 Februari 2020.

Sesaat kemudian Danang Suwanto, demikian nama pria itu, mengantongi telepon seluler di tangan ketika menyadari Tagar terlihat penasaran dengan peralatan memancingnya. Ia semula hendak memesan ojek online untuk mengantarnya ke Jalan Fatmawati. Namun niat itu ditunda demi menjawab pertanyaan.

"Habis mancing di Waduk Jatibarang di Gunungpati sana," ujar dia sembari meletakkan tas yang digendong.

Obrolan pun mengalir. Tak terasa materi pembicaraan mulai fokus pada hobi memancing Danang. Bagi pria yang berdomisili di Dusun Tembongwah RT 03 RW 02 Blok Rawa, Kecamatan Balapulang, Kabupaten Tegal, memancing bukan lagi sekadar hobi. Tidak semata mengisi waktu atau kegiatan santai di sela rutinitas harian. Aktivitas itu sudah mendarah daging dan membuatnya terus ketagihan.

Memancing itu seperti kegiatan santai yang juga merupakan proses mempelajari teknik-teknik yang digunakan. Selain itu, melatih kesabaran.

Di mata pria berusia sekitar 40 tahun itu, memancing layaknya kebutuhan untuk laku spiritual. “Memancing itu seperti kegiatan santai yang juga merupakan proses mempelajari teknik-teknik yang digunakan. Selain itu, melatih kesabaran,” kata dia.

Kendati kerap menghabiskan waktu dengan dua joran kesayangan tapi bukan berarti Danang melupakan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga. Ia hanya akan pergi memancing ketika semua kebutuhan rumah dan uang saku ada. Kebetulan profesi mendukung hobi mancingnya.

Danang merupakan seorang wiraswasta, punya usaha service pendingin ruangan sehingga tidak perlu setiap hari harus berada di kantor. Kerap mendapat order dari instansi dan itu bisa ditangani oleh anak buahnya. “Saya adalah spesialis pemancing fresh water di waduk yang airnya segar khas air pegunungan. Targetnya nila dan mujair dengan umpan cacing,” ucap dia.

Seorang pemancing, kata pria kelahiran Solo ini, bisa dipastikan akan tertarik untuk mempelajari dan menambah wawasan cara menggunakan joran. Tak jarang mereka bereksperimen dengan teknik-teknik baru. “Mungkin orang awam melihat memancing itu hanya sekedar memancing saja, tapi sebenarnya, itu memilki beragam teknik,” ujarnya.

Danang menerangkan sejumlah teknik memancing itu dalam bahasa Jawa. Seperti ntoel atau memantul, kambangan atau menggunakan pengapung, timbang atau menimbang, teknik lubang dan teknik silem atau menggunakan pemberat agar kail sampai dasar air dan masih banyak lagi.

“Kebetulan teknik yang sangat saya sukai adalah joran ntoel,” sebut Danang.

Cara dia menerapkan teknik itu adalah dengan memodifikasi alat pancing dengan wiper atau alat pembersih kaca depan mobil. Bagi pemancing pemula teknik itu cukup sulit. Sebab dibutuhkan daya sensitif tinggi pada saat umpan lumut disambar ikan. Selain cacing, lumut jadi umpan yang banyak disukai ikan tawar di waduk.

Memancing Sebulan

Pemancing Tegal2Joran yang digunakan Danang Suwanto, pemancing asal Tegal, ketika menyalurkan hobi memancing di alam liar. (Foto: Danang Suwanto)

Saking cintanya dengan memancing, saat melakukan kegiatan itu Danang seakan melupakan semua hal yang berkaitan duniawi lain. Tidak salah bila di awal pembicaraan kami, memancing disebutnya seperti laku spiritual. Memancing membuat ia menyatu dengan alam semesta. Dan itu bisa menjadi sarana untuk mensyukuri dan menikmati ciptaan Mahakuasa.

Bila bapak empat anak itu sudah selesai dengan satu waduk, dia akan berpindah ke waduk lain. Tak peduli jika jarak antarwaduk itu jauh, bahkan antarkota. Tentu saja segala peralatan dan bahan makanan untuk bertahan hidup selama berada di spot memancing sudah disiapkan.

“Sebelum memancing, biasanya saya sudah membeli beras secukupnya. Saya bawa juga perlengkapan praktis untuk memasak. Saat berada di waduk, saya langsung mendirikan tenda,” kata pria yang mengaku memancingnya pernah diliput secara langsung oleh sebuah stasiun televisi swasta pada tahun 2014 itu.

Danang mengaku memancing dengan hidup secara survival di alam liar sangat menantang dan punya keasyikan tersendiri. Terutama dari cara memasak dan pemilihan menu untuk mengganjal perut. “Untuk lauk, saya ambil sedikit dari hasil memancing. Sedangkan sayurnya, cari tanaman di sekitar waduk. Atau beli di warung yang dekat dengan waduk, itu akan lebih baik,” kata dia.

Kebetulan pekerjaan di bidang konstruksi bangunan, khususnya bidang pendingin ruangan, telah membiasakannya hidup di mana saja secara tidak tentu. “Orang proyek bisa tinggal di mana saja, di bedeng, tenda, bahkan di alam terbuka,” ujarnya.

Sering kali tidak terasa kalau saya sudah pergi memancing selama sekitar satu bulan.

Dan jika sudah berada di pinggir waduk dengan joran tergenggam di tangan, Danang kerap lupa jika sudah memancing selama empat hari sampai seminggu. “Saya baru ingat hari kalau beras sudah hampir habis,” ujarnya sembari terkekeh.

Ketika bekal menipis, Danang mulai bersiap untuk mengemasi peralatan dan pindah ke tempat memancing lain. Dan ia harus mengisi pundi perbekalan lagi dengan membeli kebutuhan hidup di toko sembako. Terus demikian hingga kerap tak pulang ke Tegal selama sebulan.

“Sering kali tidak terasa kalau saya sudah pergi memancing selama sekitar satu bulan,” ucapnya kembali menyunggingkan senyum.

Lantas apakah tidak diprotes oleh anak dan istrinya? Danang mengaku sangat bersyukur dengan keluarganya yang selalu mendukung hobi yang terdengar cukup menyita waktu tersebut.

“Yang penting kebutuhan hidup mereka sudah tercukupi, maka saya bisa meninggalkan mereka dalam waktu yang lama tanpa was-was,” ujar pria perperawakan sedang ini.

Bercengkrama dengan Alam Liar

Pemancing Tegal3Danang Suwanto (topi merah) bersama pemancing lain sesaat sebelum menyalurkan hobinya. (Foto: Danang Suwanto)

Jika orang awam melihat alam liar, seperti waduk dan pegunungan, pada malam hari adalah momentum yang menakutkan dan penuh dengan misteri, Danang tidak setuju. Malah ia menikmati kesunyian riak air waduk maupun ketenangan belantara di sekitarnya.

“Justru di waktu malam itu membuat hubungan saya dengan alam jadi dekat, lebih merasa tenang. Begitu juga dengan hubungan saya dengan ikan jadi lebih akrab,” ucapnya.

Pria yang kemana-mana lebih suka naik angkutan umum itu sama sekali tidak ada rasa gentar saat menyatu dengan alam. Tak peduli ada makhluk gaib penunggu waduk atau hewan liar di hutan, ia tetap konsentrasi menatap gerak ujung joran dan senar pancingnya. “Katanya kalau malam di pegunungan atau waduk itu banyak setannya, tapi saya tidak pernah lihat hal-hal kayak gitu,” katanya mantap.

Dia menyatakan hanya tertarik dengan kegiatannya memancing sehingga tidak pernah berpikir untuk takut pada hal-hal yang tidak masuk akal seperti yang ditakutkan orang. Meski begitu, Danang tetap menghormati alam, tempatnya menyalurkan kegemarannya mencari ikan. 

“Ya, dengan cara saya menghormati ciptaan Allah Yang Mahakuasa,” ujar dia.

Danang menyebutkan selama menggeluti rutinitas memancing sejak 2008 sudah menjelajah ke banyak waduk yang ada di pulau Jawa. Selain Waduk Jatibarang Semarang, Waduk Kedungombo, Waduk Nawangan, Waduk Cacaban, Waduk Gajahmungkur, Waduk Jatiluhur hingga Waduk Wadaslintang pernah didatangi.

Katanya kalau malam di pegunungan atau waduk itu banyak setannya, tapi saya tidak pernah lihat hal-hal kayak gitu.

Sejumlah danau kecil di seputaran Jakarta juga tidak luput dari jamahannya. Di setiap waduk atau tempat mancing, memiliki karakter air dan ikan yang berbeda. Karena itu, selain teknik ia juga menyesuaikan umpan. “Setiap melihat waduk atau danau, jiwa petualang saya sebagai pemancing seakan bergejolak keras,” ucapnya mengangguk-angguk.

Disinggung memancing di laut, Danang merespon dengan gelengan kepala. Ia tidak yakin bisa mendapat ikan di perairan terbuka nan luas. “Laut itu kondisinya keras. Saya tidak bisa menyatu dengan alam, seperti saat di waduk,” sebut dia

Danang pernah mencoba memancing di laut tapi hanya mampu bertahan dua hari saja. “Memancing di waduk sering bertemu dengan pemancing lain, sehingga bisa bersosial dan menambah saudara,” katanya beralasan,

Pria berpembawaan ramah itu mengaku lebih menyukai proses daripada hasil. Memang ikan di laut lebih banyak dan berpeluang membawa hasil banyak tapi bukan itu yang dituju. Tapi ia memancing hanya untuk menikmati sensasi tarikan ikan sekaligus bercengkerama dengan alam dalam kerangka mencari hiburan semata.

“Mengenai ikan dari hasil memancing, jarang saya membawa pulang. Biasanya, saya beri ke sesama pemancing,” ucap dia seraya merogoh telepon seluler di kantong celananya.

Tak terasa waktu beranjak malam. Danang pun beranjak pamit untuk memesan ojek online yang tertunda oleh pertanyaan-pertanyaan Tagar. Tak lama pengendara motor berjaket hijau hitam datang menghampiri. Senyum dan ucapan terima kasih menjadi penanda perpisahan kami. Dan ia menghilang di antara keriuhan kendaraan bermotor yang melintasi jalan utama penghubung Semarang-Solo dan Yogyakarta itu. []

Baca juga: 

Lihat foto: 

Berita terkait
Berawal Hobi Memancing, Dosen Undip Raih Gelar Doktor
Dari hobi memancing dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip)Nuswantoro Dwiwarno berhasil meraih gelar doktor.
Serunya Ibu-ibu di Jepara Memancing Ikan Pakai Kebaya
Sejak lomba dimulai suasana begitu meriah. Sorak sorai peserta dan penonton tak kunjung henti, apalagi ketika dari peserta yang mendapatkan hasil tangkapan ikan.
Lomba Memancing di Banda Aceh Dapat Hadiah Umrah
Banda Aceh Fishing Tournament merupakan event yang menghadirkan ribuan peserta memiliki multi manfaat mulai dari silaturahmi dan hiburan.
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.