Rembang - Kemampuan matematika pelajar sekolah dasar (SD) di Tanah Air, termasuk di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah masuk kategori darurat. Perlu upaya efektif di pembelajaran untuk menyelamatkan kegawatdaruratan matematika siswa Kota Garam.
"Penelitian dan hasil evaluasi, anak SD kelas 4 sampai 6 itu yang nilainya kurang sekitar 77 persen. Artinya memang benar-benar darurat," tutur Koordinator Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Matematika atau Gernas Tastaka Kabupaten Rembang, Imron Wijaya, Sabtu 16 November 2019.
Menurut Imron, ketika kemampuan matematika si anak gawat maka bisa diyakini kemampuan untuk mata pelajaran lain juga berbanding lurus. "Kalau dasar logikanya saja itu kurangnya lebih dari 70 persen maka untuk mata pelajaran yang lain juga sama-sama ketinggalan," ujar dia.
Karena itu, lanjut Imron, salah satu usaha yang bisa dilakukan untuk menanganinya adalah meningkatkan kemampuan guru. Utamanya dalam memahami konsep dasar matematika dan bagaimana cara mengajarkannya.
Di sisi lain, kondisi darurat ini juga direspon oleh sekelompok masyarakat untuk berkontribusi meningkatkan kemampuan matematika anak-anak SD atau madrasah di Rembang. Para pegiat literasi bersama Ikatan Guru Indonesia (IGI) Rembang mengadakan training of trainer Gernas Tastaka.
Bertempat di SMAN 1 Lasem, pelatihan dipandu oleh Master Trainer Dhitta Putie Sarasvati dari Jakarta, Sabtu 16 November 2019. Dalam kegiatan tersebut para guru pada intinya diajak mempraktikkan pembelajaran matematika yang mengajak siswa bernalar.
Penelitian dan hasil evaluasi, anak SD kelas 4 sampai 6 itu yang nilainya kurang sekitar 77 persen.
Berbagai media pembelajaran di sekitar siswa bisa digunakan untuk mengenalkan dan menjelaskan operasi bilangan. Siswa harus diajarkan sesuatu yang konkret terlebih dulu sebelum belajar yang abstrak seperti bilangan. Selama ini, pembelajaran operasional bilangan langsung dilakukan secara abstrak.
"Bagaimana caranya agar pembelajaran bisa berkualitas yaitu dengan cara proses pembelajaran yang ada proses berpikir dan bernalarnya. Untuk itu temen-temen guru harus bisa mengajarkan matematika yang mengajak siswa bernalar, misalkan berhitung dengan media benda," terang Dhita.
Dhita, juga sebagai Koordinator Konten Gernas Tastaka Pusat, menambahkan rendahnya numerasi di Indonesia sebenarnya bukan berita yang baru.
Berdasarkan hasil tes internasional dan nasional seperti Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) dan Asesment Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) diketahui bahwa anak-anak Indonesia ternyata belum mampu menerapkan kemampuan prosedural matematika ke dalam permasalahan sehari-hari.
Bagi Dhita, lemahnya kemampuan siswa dalam memecahkan soal matematika lebih disebabkan siswa belum mendapatkan proses pembelajaran matematika yang berkualitas. Sehingga kemampuan dalam mengolah angka matematika masih kurang.
"Kurang itu bukan karena siswa kita bodoh atau tidak bisa tapi memang belum memperoleh kesempatan saja untuk belajar matematika secara berkualitas," imbuh dia.
Tambahan informasi, data dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan di website-nya, diketahui kemampuan membaca siswa SD secara nasional hanya 6,06 persen yang bernilai baik. Kemudian 47,11 persen bernilai cukup dan masih 46,83 persen yang bernilai kurang.
Sementara, kemampuan matematika yang baik hanya 2,25 persen, cukup sebesar 20,58 persen, sisanya 77,13 persen masih kurang. Bidang sains yang baik hanya 1,04 persen, cukup 25,38 persen dan 73,61 persen masih kurang. []
(Rendy Teguh Wibowo)
Baca juga:
- Inspirasi Lusi Ambarani, Belajar Matematika dengan Cara Menyenangkan
- Untuk Menjadi Seorang Komikus, Aku Nggak Perlu Jago Matematika
- Tak Suka Matematika? Biarkan Anak Pilih Apa yang Disuka