"Den, Tegal lockdown tuh. Presiden lu gak dipercaya lagi sama kepala daerah." Begitu seseorang me-mention saya dalam statusnya. Tegal lockdown? Ah, yang benar saja. Lockdown sebuah kota itu dampaknya besar, dan kepala daerah tidak akan sanggup menangani dampak sebesar itu. Makanya keputusannya harus ada di Presiden.
Dan ketika saya baca lagi, apa sih yang dimaksud lockdown di Tegal, ealaahhh... ternyata cuma penutupan akses sementara kendaraan dari luar kota. Itu bukan lockdown namanya. Mau ketawa, entar dosanya nambah.
Istilah Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo lebih sadis lagi, "Itu bukan lockdown, tapi isolasi kampung!" Ambyarrrr.
Tapi memang gagah sih istilah lockdown itu. Biar dikutip media. Apalagi Wali Kota Tegal menambahkan narasi dramatis, "Tidak apa-apa saya dibenci." Telenovela sekali, Ferguso.
Kalau bahasanya cuman isolasi doang, mana ada media yang mau mengutip?
Di India malah disabet-sabeti warganya. Di Malaysia denda untuk yang keluar rumah. Itu baru lockdown.

Kalau mengacu dari negara besar seperti China dan India, lockdown itu bukan saja menutup negara atau wilayah, tetapi mengunci masyarakat supaya tidak keluar rumah.
Tentara pun keluar. Negara seperti darurat militer. Di India malah disabet-sabeti warganya. Di Malaysia denda untuk yang keluar rumah. Itu baru lockdown. Mau begitu, saudara?
Makanya keputusan lockdown itu selalu bersifat nasional, bukan wilayah. Harus Presiden, karena imbasnya nanti menteri-menteri mengatur urusan kiri kanannya. Di Indonesia, keputusan lockdown harus dikaji dulu oleh gugus tugas pencegahan corona, yang diketuai Kepala BNPB.
Teriakan lockdown di Indonesia itu sifatnya gagah-gagahan doang. Biar keren dan kekinian. Apalagi di grup WA, biasanya postingan-nya enggak dibaca teman grup, pas teriak lockdown, langsung jadi pembicaraan.
Di tingkat kepala daerah juga ada kegenitan politik. Biar gagah dan diliput media, maka harus teriak lockdown. Meski dia tahu, kepala daerah tidak punya wewenang untuk itu.
Eh, si teman yang me-mention baca enggak ya kira-kira?
Kayaknya enggak. Dia cuman baca judul doang, terus berasa gagah share ke sana ke mari, seolah-olah dia adalah ahli daripada ahli, core of the core.
Sepertinya, daripada lockdown, pusat lebih baik lockdrun. Biar para kadrun di-lock saja, soalnya komunitasnya kecil, tapi berisiknya seperti di pasar.
*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi
Baca juga:
- Ganjar Pranowo Bantah Kota Tegal Lockdown Corona
- Sosok Wali Kota Dedy Yon Supriyono di Balik Tegal Lockdown