Denny Siregar: Lockdown China Vs Indonesia

Permasalahan otonomi daerah terlihat jelas saat wabah corona melanda Indonesia. Beda dengan China, pusat bilang A semua harus A. Denny Siregar.
Aparat keamanan memakai masker untuk mencegah penyebaran virus corona Covid-19 memantau jalan di luar Kota Terlarang (Forbidden City) di Beijing, China, Rabu, 18 Maret 2020. (Foto: Antara/Reuters/Carlos Garcia Rawlins)

Otonomi daerah di negeri ini, ada bagusnya dan juga ada jeleknya. Bagusnya adalah daerah masing-masing punya kewenangan dalam menata wilayahnya. Jeleknya adalah tidak ada koordinasi jelas dengan pemerintah pusat. Kepala daerah seolah menjadi raja di wilayahnya sendiri, tanpa perlu merasa koordinasi dengan pusat.

Permasalahan otonomi daerah ini terlihat jelas saat wabah corona melanda Indonesia.

Beda dengan China misalnya, yang ketika pusat bilang A semua harus A. Di Indonesia tidak bisa begitu. Ada saja pemerintah daerah yang tidak seiring. Itulah bedanya demokrasi dan otoriter. Dalam kondisi seperti ini, pemerintahan yang otoriter menjadi begitu penting, supaya keputusan jadi terpusat.

Ketika pusat mengumumkan tidak ada lockdown, ternyata ada beberapa daerah yang mengumumkan mereka melakukan lockdown. Mereka mempunyai alasan, UU No 6/2018 di mana daerah bisa melakukan karantina di wilayahnya.

Permasalahannya, seberapa butuh sebuah daerah di-lockdown? Apakah hanya karena satu orang terduga positif corona, maka satu kota atau wilayah harus lockdown total?

Itulah kenapa Menkopolhukam segera menyusun Peraturan Pemerintah tentang karantina. Di sana akan dijelaskan tata cara lockdown per wilayah.

Lockdown di Berbagai Negara(Foto: Instagram/@tagarnews)

Ya, tidak bisa begitu. Keputusan lockdown atau karantina, tidak boleh berdasarkan emosi kepala daerahnya saja. Apalagi berdasarkan keputusan politis, untuk menjaga suara pemilih.

Pertimbangannya harus melibatkan pusat, karena mengkarantina suatu daerah, harus punya pertimbangan lain yang melibatkan pusat, misalnya pangan, logistik, keamanan dan segala macam. Dan itu melibatkan kementerian untuk mengaturnya.

Memang kalau misalnya Jakarta lockdown, terus pusat enggak tanggung jawab terhadap masalah pokok itu? Jelas mereka enggak bisa lepas tangan karena keamanan seperti TNI dan Polri ada di tangan pusat. Belum lalu lintas logistik dan lain-lain.

Nah, masalahnya kalau satu daerah ujug-ujug teriak "lockdown!" Ini akan memicu kepanikan di daerah lain juga. Kalau tidak terkontrol bisa bahaya. Semua daerah ambil keputusan masing-masing dengan berbeda penafsiran.

Itulah kenapa Menkopolhukam segera menyusun Peraturan Pemerintah tentang karantina. Di sana akan dijelaskan tata cara lockdown per wilayah. Dan keputusan lockdown itu tentu tidak bisa diambil kepala daerah, tetapi oleh gugus tugas daerah untuk penanganan corona dan diteruskan ke pusat.

Begitu aturan mainnya.

Dan kalau sudah terbit PP ini, kepala daerah yang pengen jalan sendiri, bisa kena sanksi pidana maksimal 1 tahun. Itu juga sesuai UU karantina.

Ngomong lockdown itu gampang. Yang enggak kuat itu dampaknya. Satu kota tertutup total dari kota-kota lain, ekonomi mati yang akan menimbulkan dampak sosial dan macam-macam.

Enak kepala daerahnya ngomong "lockdown". Nanti kalau ada dampak sosialnya yang berbahaya, terus main lempar, "Itu urusan pusat". 

Panik enggak menyelesaikan masalah, malah menimbulkan kepanikan baru yang apinya membakar ke mana-mana.

*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Baca juga:

Berita terkait
Dusun di Bantul Lockdown Usai Warga Meninggal
Dusun di Bantul Yogyakarta memilih lockdown swadaya atau menutup akses masuk setelah ada warga yang meninggal.
Memutus Rantai Covid-19, Humbahas Lockdown Terbatas
Guna memutus mata rantai penyebaran Covid-19, Kabupaten Humbahas, Sumatera Utara, memutuskan karantina atau lockdown terbatas.
Penerapan Lockdown di Tasikmalaya Jawa Barat
Ada lima kasus positif corona Covid-19 di Tasikmalaya Jawa Barat. Pemerintah setempat tak mau angka itu bertambah. Maka ditempuh lockdown.