"Ulanganku jelek, Pa." Anakku ketakutan waktu kasih kertas ulangannya dengan angka spidol merah. Kuambil dan kuelus rambutnya. "Baguslah," kataku. Dia kaget, "Papa enggak marah?" Aku jawab, "Enggak, papa tahu kamu belajar. Cuma mungkin soal yang ini kamu enggak mengerti saja."
Sejak lama saya punya prinsip tidak ingin membangun narasi negatif dalam pikiran anak. Karena kata-kata negatif yang kita benamkan ke otaknya, akan menjadikan dia juga berperilaku negatif nantinya.
Saya tidak ingin menjadi agent of fear untuknya. Saya harus jadi agent of change membantu dia membuka sudut pandang baru supaya dia lebih bisa memahami masalahnya.
Dan apa yang saya lakukan berhasil. Anakku tumbuh menjadi anak yang mandiri, berani dan kokoh. Pintar itu relatif, yang penting dia berhasil bersosialisasi dan punya prestasi di bidang yang dia senangi. Bukan yang saya senangi.
Lagian, lebih baik kita menyalakan lilin daripada sibuk mengutuk kegelapan, bukan?
Kebiasaan itu ada sampai sekarang, bukan hanya kepada anak, tapi kepada siapa saja. Narasi positif itu penting sekali, karena itu akan membentuk perilaku orang di sekitar kita.
Ketika wabah corona menerpa kita, banyak sekali yang tidak sadar bahwa dia menjadi agent of fear buat orang sekitarnya. Dia membagikan berita-berita buruk, senang membaca kabar-kabar yang buruk, sehingga dia ketakutan sendiri.
Dan karena dirinya ketakutan, dia lalu memprovokasi orang supaya sama takut dengan dirinya.
Berita yang dibagikan narasinya selalu "Tambah lagi pasien corona", "Bahaya sekali negeri ini" dan model-model yang sama. Dia tidak pernah berusaha menyebarkan berita "Alhamdulillah, banyak yang sembuh" karena dia sendiri tidak percaya pada sekitarnya. Terpenjara oleh ketakutannya.
Begitu juga kalau memberi contoh, "Lihat tuh Italia, berapa banyak yang mati?" Bukan, "Wah, ternyata di Vietnam banyak yang sembuh." Coba bedakan.
Semua masalah tergantung sudut pandang mana kita melihat, apakah itu menjadikan kita takut dan lemah atau malah menjadikan kita kuat dan melawan? Semua itu pilihan kita sendiri.
Mungkin semua itu tergantung pendidikan yang didapat juga. Ada orang yang terbiasa dididik dengan ancaman dan ketakutan, sehingga besarnya selalu mengancam dan menyebarkan ketakutan.
Saya termasuk beruntung, dibesarkan dengan cara positif, membangun sudut pandang baru untuk tetap bertahan. Jadi teringat nasihat almarhum ayah, "Bukan besarnya badai yang seharusnya kamu takutkan, tapi mampukah kamu melewatinya dengan segenap keahlian?"
Jadilah agent of change. Bangunlah narasi positif dalam setiap masalah yang menekan. Sebarkan hal-hal yang membangkitkan semangat, bukan yang melemahkan.
Lagian, lebih baik kita menyalakan lilin daripada sibuk mengutuk kegelapan, bukan?
Andra tutto bene. Semua akan baik-baik saja.
*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi
Baca juga:
- Denny Siregar: Yang Sembuh dari Corona Jauh Lebih Banyak
- Denny Siregar: Dokter yang Bekerja dalam Senyap