Saya heran dengan reaksi banyak orang terhadap pernyataan Menteri Agama tentang rencana pelarangan cadar dan celana cingkrang di kementeriannya.
Dari kacamata saya, apa yang dikatakan Menteri Agama Fachrul Razi ini sebenarnya bukan masalah radikalisme, tapi lebih pada kepantasan berseragam di jajarannya.
Seragam pegawai negeri sudah diatur, bahkan ada instruksi Menteri Dalam Negeri yang bukan saja mengatur tentang penggunaan jilbab, tapi juga mengatur wanita yang tidak berjilbab.
Sebagai contoh, instruksi Mendagri saat dijabat Tjahjo Kumolo yang melarang PNS wanita mengecat rambut warna warni. Ini jelas bukan masalah radikalisme, tetapi sebuah peraturan yang wajib dipatuhi.
Lha, jadi yang dimasalahkan apanya?
Jadi wajar kalau Menteri Agama melarang penggunaan nikab atau cadar dalam kementeriannya. Cadar beda dengan jilbab yang hanya menutupi kepala saja. Cadar itu seluruh tubuh ditutupi.
Seragam pegawai negeri sudah diatur, bahkan ada instruksi Menteri Dalam Negeri.
Bayangkan, kalau ada PNS wanita dengan cadar seperti itu melayani masyarakat yang bahkan tidak bisa melihat wajahnya.
Jadi ini bukan masalah privat, seperti kata PKS, partai nan varokah pemilik kapling surga. Ini sudah masuk di wilayah publik, karena fungsi PNS adalah pelayanan masyarakat.
Beda lagi kalau di rumah, mau pakai cadar atau gak pakai apa-apa, itu urusan dia.
Jadi bisa dibedakan, ranah pembicaraan Menteri Agama yang berbicara untuk jajarannya dengan masyarakat luas. Jangan digoreng ke mana-mana sampai dibilang menista Islam segala.
Kenapa Menteri Agama harus bilang bahwa cadar tidak ada hubungan dengan keimanan seseorang ?
Ya itu untuk meluruskan pemahaman di jajarannya yang masih menganggap bahwa dia pakai cadar itu atas perintah Tuhan dan menunjukkan bahwa dia Islam. Lha, Yahudi saja ada yang pakai cadar. Masak mereka Islam juga?
Sebenarnya tidak ada masalah ketika Menteri Agama menerapkan peraturan itu di instansinya.
Yang masalah adalah ketika Menteri Agama bilang bahwa 'salat tidak boleh di langgar'. Itu baru penistaan. Salat bisa di mana saja. Di masjid boleh. Di langgar boleh. Di rumah juga boleh.
Kamu paham kan, sisir kutu?
Seruput kopi dulu.
*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi