Ketika dalam situasi sulit yang menekan, muncul dua karakter asli manusia. Pertama, mereka yang selalu mengeluh dan terpenjara ketakutan. Mereka adalah pecundang. Kedua, mereka yang bangkit dan melawan. Mereka adalah pemenang.
Kisah Handoko Gunawan, dokter ahli paru di Graha Kedoya ini adalah salah satu fakta bahwa superhero itu ada. Ia tidak berbadan tegap dengan dada bidang, berpakaian ketat dengan perut sixpack, apalagi pakai celana dalam di luar.
Ia berusia hampir 80 tahun. Ia turun ke lapangan saat negara membutuhkan. Tubuhnya boleh renta, tapi semangatnya menyala-nyala. "Mati juga tidak apa-apa," katanya ketika anak-anaknya melarang dia terlibat dalam usaha menyembuhkan pasien yang kena corona.
Terangnya menembus sekat-sekat ras dan agama, karena jiwanya merdeka.
Saya menahan diri untuk tidak menulis sosoknya, karena takut berita itu hoax. Tapi tidak tahan juga jemari saya menulis tentang kisahnya, meski sedikit yang bisa saya ceritakan karena saya tidak mengenalnya.
Seakan semangatnya muncul dalam setiap huruf yang saya ketik, dan berkata, "Hei, anak muda, jangan mau kalah dengan saya. Jadilah pejuang di manapun kamu berada."
Dokter Handoko Gunawan adalah lilin, saat banyak orang lebih sibuk mengutuk kegelapan. Terangnya menembus sekat-sekat ras dan agama, karena jiwanya merdeka. Ia tahu, apa yang harus ia perbuat dengan hidupnya. Ia punya tujuan.
"Semua orang pasti mati, teman," begitu kata Kareem di film Vertical Limit. "Tapi apa yang kita perbuat semasa hidup, itulah yang diperhitungkan."
Saya iri dengan orang-orang seperti dokter Handoko. Ia paham memfungsikan dirinya ketika dibutuhkan. Baginya, virus corona bukan bencana, tetapi peluang. Peluang untuk mencari amal yang berguna, sebelum ia kelak berpulang.
Doa kami untukmu, dokter. Entah bagaimana kabarmu sekarang. Maafkan kami yang muda-muda yang malah sibuk menyebarkan ketakutan, daripada berjuang. Engkaulah kabar positif, di tengah riuhnya berita negatif.
Semoga sehat, dokter. Engkau adalah kebanggaan keluarga, dan inspirasi bagi banyak orang.
Seperti secangkir kopi, dirimu hadir hanya untuk memberi kenikmatan.
Sebarkan kabar ini, biar banyak orang - terutama untuk dokter ahli virus yang lebih sibuk ribut daripada bekerja dengan tenang - merasa tertampar.
Itu juga kalau merasa. Karena pecundang selalu menganggap bahwa dirinya adalah pemenang.
*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi
Baca juga:
- Dokter Handoko Gunawan, Usia 80 Tahun di Garda Terdepan Lawan Corona
- Kisah Relawan Peramu Cairan Pencegah Corona di Jakarta