Medan - Bursa calon Wali Kota Medan kini mulai bergulir. Sejumlah nama bermunculan walau masih malu-malu untuk menyatakan secara gamblang.
Beberapa di antara nama yang muncul ialah Gus Irawan Pasaribu, Dahnil Anzar Simanjuntak, Jansen Sitindaon, Ihwan Ritonga, Maruli Siahaan.
Setidaknya, nama-nama itu sudah mulai mengemuka melalui sejumlah pernyataan pribadi maupun partai yang mengusungnya.
Sampai sejauh mana sepak terjang nama-nama tersebut pada Pilkada 2020 mendatang memang belum bisa dipastikan.
Namun, berbagai wacana tentang siapa dan seperti apa sosok wali kota yang diharapkan warga Kota Medan, sudah mulai bermunculan.
Misalnya, pada diskusi bertajuk "Sosok atau Program" yang digelar di Literacy Coffee, Jalan Jati II No 1 Teladan Timur, Kota Medan, Jumat 21 Juni 2019 malam.
Hadir sebagai pemantik dalam diskusi itu Edy Ikhsan, dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara (USU) dan Sutrisno Pangaribuan dari Komisi D DPRD Sumatera Utara.
"Sampai kepemimpinan Surkani pada era 70-an, Medan masih enak dihuni. Setelah itu, sudah tidak lagi," kata Edy Ikhsan.
Kalau ada yang bisa menyelesaikan dan maju tanpa uang, saya pribadi akan memilihnya
Dia mempertanyakan Kota Medan dijuluki sebagai kota yang keras. Padahal kota ini dihuni masyarakat multi etnis yang peradabannya sangat tinggi.
"Agaknya pemimpin yang muncul dari partai politik gagal dan tidak mempunyai leadership. Mungkin karena doktrin partai politik yang semata-mata merebut kekuasaan sehingga lupa dengan amanah masyarakat," katanya.
Adapun Sutrisno Pangaribuan mengatakan, saat ini Kota Medan tidak lagi punya pemimpin yang tegas untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi warganya.
Semisal, persoalan banjir dan tata kota yang terkesan asalan. Kemudian pendirian ruko yang tidak terzonasi, IMB diberikan begitu mudah dan masyarakat sesuka hati menutup saluran drainase, sehingga terjadi kenaikan air yang cepat saat hujan lebat.
Menurut Sutrisno, harus ada pemimpin yang gila, berani memangkas itu semua. Ia pun berharap tidak ada wali kota yang terpengaruh pola kepemimpinan yang transaksional.
"Kalau ada yang bisa menyelesaikan dan maju tanpa uang, saya pribadi akan memilihnya," kata dia.
Salah satu peserta diskusi yang hadir, Rizanul Arifin, mengatakan ia mengharapkan wali kota yang paham betul sejarah perjalanan kota, yang bisa dikembalikan ke wujud asli.
"Misalnya minimal mempertahankan Kesawan, kota tua Medan. Sistem drainasenya bagus. Drainase tidak ditutup untuk dijadikan lokasi parkir," ujarnya.
Ia membuka kembali catatan bahwa sejak tahun 1980 – 2000 ada proyek besar yang pernah dikerjakan di Kota Medan, yaitu Medan Urban Development Project dan Metropolitan Medan Urban Development Project, yang tujuannya untuk mengelola sistem drainase dan limbah di Kota Medan. "Nyatanya sampai sekarang, tidak jalan," katanya.
Ia juga mempertanyakan fungsi kanal banjir Titi Kuning yang tak mampu mengatasi banjir. Malah, Sungai Deli selalu dijadikan kambing hitam sebagai penyebab banjir. Padahal sebenarnya adalah pengelolaan drainase dan pengelolaan limbah yang bermasalah.
"Jika ada yang mengerti tata air, tata kelola tanah, tata kelola pembangunan di Medan, harusnya mereka malu melihat itu," ujar Rizanul yang pernah aktif di Komunitas Taman dan Komunitas Masyarakat Peduli Kota itu.
Karenanya ia berharap ke depan ada wali kota yang punya perencanaan terhadap masyarakat, yang bisa membaca keinginan (need) warga Kota Medan. []
Baca juga:
- Gus Irawan Pasaribu Disebut Maju di Pilkada Medan
- Jalan Raya Deli Serdang - Medan Tergenang Air
- 23 Daerah Gelar Pilkada 2020 di Sumut