Jakarta - Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Nuning Rodiyah, memberikan respon terkait seruan pembubaran KPI oleh sutradara kawakan, Joko Anwar di media sosial Twitter. Menurutnya, apa yang diutarakan Joko dapat dianggap sebagai bentuk masukan dari masyarakat.
"Apabila benar cuitan Joko Anwar tidak semata-mata karena trailer film Gundala di tegur KPI, maka akan saya kategorikan sebagai salah satu bentuk masukan dari masyarakat terkait dengan tugas KPI," kata Nuning, saat dikonfirmasi Tagar, Senin, 23 September 2019.
Joko Anwar menyerukan pembubaran terhadap KPI lantaran lembaga itu dinilai telah berlaku otoriter dan represif. Dalam cuitan Twitternya, ia sempat menilai KPI telah berlebihan menegur konten promosi filmya, yang memuat kata 'bangsat'.
Menurut dia, kata 'bangsat' sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti orang yang bertabiat jahat, khususnya yang gemar mencuri atau mencopet. Dalam pengertian lain, kata tersebut juga berarti kutu busuk atau kepinding.
Sutradara Joko Anwar, saat acara Gala Premier Film Gundala, di XXI Epicentrum, Kuningan, Jakarta, Rabu, 28 AGustus 2019. (Foto: Tagar/ Eno Suratno Wongsodimedjo)
Menanggapi itu, Nuning mengatakan teguran terhadap penayangan trailer film Gundala telah sesuai dengan fungsi dan tugas KPI dalam hal pengawasan konten siaran di televisi. Ia juga memastikan tidak ada unsur tebang pilih dalam tiap kinerja yang dilakukan lembaganya itu.
"(itu) telah sesuai dengan tugas KPI pusat untuk melakukan semua konten yang tayang di televisi, dan telah sesuai dengan otoritas yang diamanahkan UU penyiaran no 32 tahun 2002," ujar dia.
"Di manapun dan dalam bentuk apapun ketika lembaga penyiaran melanggar ketentuan yang telah diatur dalam P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) maka akan diberikan sanksi," kata dia.
Nuning mengatakan, frekuensi penyiaran merupakan ruang publik yang penggunaannya harus selalu mengindahkan peraturan norma dan etika yang berlaku. Ia menilai, definisi dalam kamus mengenai diksi 'bangsat' tidak berbicara konteks.
Tayangan trailer yang terlalu singkat, kata Nuning, menjadikan kata tersebut justru berarti sebagai kata makian yang dapat ditiru oleh anak-anak di bawah umur.
"Definisi di kamus itu kan tidak bicara konteks. Trailer tayang dibiarkan tanpa konteks, hanya sekian second dengan kata-kata makian. Dan itu tidak layak ditonton oleh khalayak, terutama anak, karena anak akan melakukan replikasi," kata dia.
Baca juga: Joko Anwar: KPI Otoriter dan Represif
Nuning juga menyoroti beberapa stasiun televisi yang menayangkan trailer film Gundala dengan menyensor kata kasar. Menurut dia, pesan dalam promo tersebut tetap diterima oleh masyarakat meski tanpa kata-kata yang tidak pantas.
"Ada juga TV yang menayangkan trailer Gundala tapi tidak menayangkan kata2 kasar 'bangsat', tapi pesan promo film sampai ke masyarakat dengan baik. So, bukan promo Gundala yang kita sanksi, tapi visual kata-kata kasar," kata Nuning.
"Jadi KPI meminta kepada seluruh Lembaga Penyiaran untuk mengedepankan prinsip perlindungan anak dan remaja pada setiap program siarannya," ujar dia.
Diberitakan sebelumnya, Joko Anwar memastikan, seruan pembubaran KPI yang belakangan ia gelorakan bukanlah imbas sakit hati lantaran materi promo film Gundala yang sempat kena semprot KPI beberapa waktu lalu.
"Ini bukan emosi jiwa. Indonesia harus menjadi masyarakat yang madani, artinya mampu mengatur diri sendiri termasuk bagaimana harus merasa, memiliki persepsi tentang hidup," kata dia usai temu media film Sri Asih, di Jakarta, Sabtu, 21 September 2019.
"Termasuk tontonan, maupun apa yang kita konsumsi sehari-hari dalam hal informasi, hiburan, dan sebagainya," kata dia.
Joko menilai, jika ada suatu lembaga yang berusaha mengarahkan dan menentukan cara publik untuk merasa dan berpresepsi mengenai sebuah tontonan atau hiburan, maka hal tersebut merupakan suatu bentuk represi.
Baca juga: SpongeBob, Gundala, dan 12 Program yang Ditegur KPI
Sutradara film Perempuan Tanah Jahanam itu mengatakan, ia tidak ingin lembaga seperti KPI justru mengerdilkan warga negara.
"Segala sesuatu yang bersifat represi itu tidak baik bagi kita sebagai manusia maupun rakyat yang tinggal dalam sebuah negara. Jadi KPI sudah bersifat represif dan otoriter," kata dia.
"Lembaga seperti ini jangan sampai membuat kita sebagai warga negara terkerdilkan. Jangan otoriter memaksa dan merasakan seperti apa yang mereka rasakan. Ini tidak baik," ujarnya. []