Jakarta - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir belum dapat memastikan apakah Sofyan Basir bisa kembali ke jabatan yang semula ia duduki, yakni sebagai Direktur Utama (Dirut) PT PLN (Persero) atau tidak.
"Mengenai apakah Pak Sofyan akan kembali memimpin PLN, hal ini tergantung kepada keputusan Tim Penilai Akhir (TPA)," ucap Erick dalam keterangan resmi di Jakarta, Senin, 4 November 2019 seperti dilansir dari Antara.
Sebab, kata dia penentuan Direksi PT PLN tidak bisa dilakukan sembarangan. "Harus melalui TPA," ujarnya.
Baca juga: Sofyan Basir Bebas Vonis, Tak Berarti Dakwaan Lemah
Erick sudah mendengar vonis bebas Sofyan Basir dalam perkara dugaan pembantuan kesepakatan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mulut Tambang Riau-1. Ia pun memilih untuk menghormati keputusan dari majelis hakim.
"Kita semua menghormati proses hukum juga hasil dari setiap persidangan bahwa Pak Sofyan Basyir dibebaskan dari berbagai tuduhan, dengan ini, tentunya nama Pak Sofyan terehabilitasi dengan sendirinya," tuturnya.
Mengenai apakah Pak Sofyan akan kembali memimpin PLN, hal ini tergantung kepada keputusan Tim Penilai Akhir (TPA).
Mantan Dirut PLN Sofyan Basir (kedua kanan) memeluk kerabatnya usai pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin, 4 November 2019. Majelis hakim memvonis bebas Sofyan Basir. (Foto: Antara/Puspa Perwitasari)
Sofyan Basir divonis bebas dari dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni lima tahun penjara ditambah denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan.
"Menyatakan terdakwa Sofyan Basir tidak terbukti secara sah dan meyakinkan sebagaimana dakwaan pertama dan kedua jaksa penuntut umum," ucap Ketua Majelis Hakim Hariono di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin, 4 November 2019 seperti dilansir dari Antara.
Sofyan dinilai tidak terbukti melakukan pembantuan fasilitasi suap kesepakatan proyek Independent Power Producer (IPP) PLTU MT Riau-1 saat pertemuan antara anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2014-2019 Eni Maulani Saragih, politikus Partai Golkar Idrus Marham, dan pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo.
Seperti yang tercantum dalam dakwaan pertama maupun kedua Pasal 12 huruf a jo Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 56 ke-2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). []