Jakarta - Sudan siap menormalisasi hubungan dengan Israel, beberapa pekan setelah Uni Emirat Arab dan Bahrain secara resmi melakukan hal tersebut. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan kesanggupan Sudan setelah dia mencoret Sudan pada daftar negara-negara pendukung terorisme sekaligus mencabut blokade ekonomi dan investasi dari negara anggota Liga Arab tersebut.
Trump mengklaim ada “setidaknya lima lagi" negara Arab yang ingin menyepakati perdamaian dengan Israel. Pekan lalu Bahrain menjadi negara Arab keempat di Timur Tengah -setelah UEA, Mesir, dan Yordania- yang mengakui Israel sejak didirikan pada 1948.
Keputusan Sudan mendapat sambutan Kementerian Luar Negeri UEA, yang menyebut hal itu adalah "sebuah langkah penting untuk meningkatkan keamanan dan kesejahteraan di kawasan".
Sudan dan Israel menyatakan dalam pernyataan gabungan dengan AS bahwa sejumlah delegasi akan bertemu dalam "pekan-pekan mendatang". "Para pemimpin menyepakati normalisasi hubungan antara Sudan dan Israel dan untuk mengakhiri keadaan bermusuhan antara negara-negara mereka," katanya.
Hingga bulan lalu hanya ada dua negara Arab -Mesir dan Yordania- yang secara resmi mengakui Israel. Kedua negara yang berbatasan langsung dengan Israel tersebut menandatangani perjanjian damai masing-masing pada 1979 dan 1994 melalui mediasi AS.
Mauritania, anggota Liga Arab di Afrika, mengakui Israel pada 1999, namun memutuskan pengakuan tersebut 10 tahun kemudian.
Peningkatan jumlah negara Arab yang secara resmi menormalkan hubungan dengan Israel dikecam Palestina, yang memandangnya sebagai bentuk pengkhianatan.
Pada masa lalu, negara-negara Arab hanya bersedia melakukan perundingan damai dengan Israel asalkan Israel menarik diri dari kawasan-kawasan yang diduduki saat Perang 1967 serta Palestina bisa mendirikan negara yang beribukota di Yerusalem Timur.
Presiden Otorita Palestina, Mahmoud Abbas, mengatakan dirinya menolak perjanjian baru dan mengatakan tidak ada seorang pun yang berhak berbicara atas nama rakyat Palestina.
Hamas, yang mengendalikan kawasan Gaza, mengatakan tindakan menjalin hubungan dengan Israel adalah "dosa politik".
1. Bagaimana Langkah Tersebut Diumumkan?
Sesaat setelah Presiden Trump secara resmi mencoret Sudan dari daftar negara-negara pendukung terorisme, para wartawan di Washington DC dibawa ke Ruang Oval Gedung Putih, saat Trump sedang berbicara melalui telepon dengan pemimpin Israel dan Sudan.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengatakan perjanjian itu merupakan "terobosan dramatis untuk perdamaian" serta permulaan "era yang baru".
PM Sudan, Abdalla Hamdok, berterima kasih kepada Trump karena mencoret negaranya dari daftar negara-negara pendukung terorisme. Dia mengatakan pemerintah Sudan sedang berupaya "menuju hubungan internasional terbaik yang melayani rakyat". Stasiun televisi negara Sudan menyatakan "kondisi agresi" akan berakhir.
Selagi berbicara dengan kedua pemimpin negara, Trump berkata: "Anda pikir 'Sleepy Joe' bisa membuat kesepakatan ini? Menurut saya sepertinya tidak." "Sleepy Joe" alias 'Joe pengantuk" adalah julukan ejekan terhadap calon presiden dari Partai Demokrat, Joe Biden.
Netanyahu kemudian balik berkomentar: "Begini, tuan Presiden, satu hal yang bisa saya katakan kepada Anda, kami menghargai bantuan untuk perdamaian dari siapapun di Amerika."
Rangkaian peristiwa ini dipandang sebagai kemenangan Trump di bidang kebijakan luar negeri menjelang pemilihan presiden pada 3 November 2020 mendatang. Koresponden “BBC” mengatakan waktu pengumuman langkah ini bukanlah kebetulan. Kebijakan Trump yang pro-Israel dipandang para penasihatnya menjadi daya tarik bagi para pemilih dari kalangan Kristen evangelis, elemen kunci basis pemilihnya.
Trump kesepakatan hubungan Sudan-Israel selagi berkomunikasi dengan pemimpin kedua negara melalui telepon (Foto: voaindonesia.com/Reuters).
Trump mengklaim ada "setidaknya lima lagi" negara Arab, termasuk Arab Saudi, yang mempertimbangkan untuk menjalin hubungan dengan Israel.
Staf Trump, Judd Deere, mengatakan kesepakatan dengan Sudan adalah "langkah besar lanjutan menuju pembangunan perdamaian di Timur Tengah dengan negara lain bergabung dalam Kesepakatan Abraham", istilah untuk kesepakatan dengan UEA dan Bahrain.
Sementara itu, Israel menyatakan tidak bakal menentang jika AS menjual perangkat militer berteknologi tinggi ke UEA. AS setuju mempertimbangkan untuk menjual pesawat tempur F-35 ke UEA setelah negara itu menormalkan hubungan dengan Israel.
Israel sebelumnya mengatakan perlu mempertahankan keunggulan militer atas negara-negara lain di Timur Tengah. Akan tetapi, awal pekan ini Israel mengatakan AS setuju meningkatkan kemampuan militernya.
2. Bagaimana Bisa Seperti Ini?
Sudan telah menjadi musuh Israel sejak Israel berdiri pada 1948. Bahkan, Sudan menjadi tempat deklarasi anti-normalisasi dengan Israel pada 1967, ketika Liga Arab bertemu di Ibu Kota Sudan, Khartoum. Ikrar mereka saat itu: "tidak ada perdamaian dengan Israel, tidak ada pengakuan Israel, tidak ada negosiasi dengan Israel".
Pada 1948 dan 1967, Sudan berperang melawan Israel. Bahkan, Sudan menjadi tempat perlindungan bagi kelompok-kelompok gerilyawan Palestina dan diduga mengirim persenjataan Iran ke milisi Palestina di Gaza beberapa tahun lalu—yang kemudian dibalas Israel menggunakan serangan udara.
Dinamika politik lantas berubah seiring dengan digulingkannya pemimpin yang telah berkuasa lama, Omar al-Bashir, tahun lalu. Penggantinya pun dicopot oleh dewan transisi sipil-militer.

Para jenderal Sudan, yang sejatinya memegang kekuasaan di negara itu, mendukung hubungan dengan Israel sebagai cara agar deretan sanksi AS terhadap Sudan dicabut sekaligus membuka bantuan ekonomi.
Akan tetapi, reaksi kesepakatan Sudan-Israel beragam. Beberapa kalangan merasa para petinggi Sudan menyetujui proposal Trump karena diancam dan terdesak untuk mencabut Sudan dari daftar negara-negara pendukung terorisme yang disusun AS, demikian dilaporkan koresponden senior “BBC” di Afrika, Anne Soy.
Pekan ini, Donald Trump mengatakan Sudan akan dicabut dari daftar negara-negara pendukung terorisme begitu AS menerima kompensasi sebesar 335 juta dolar AS atas serangan-serangan terhadap berbagai kedutaan besar AS di Afrika.
Serangan di Kenya dan Tanzania pada 1998 dilancarkan Al-Qaeda ketika pemimpin organisasi itu, Osama bin Laden bermukim di Sudan. Sejak itu Sudan menempatkan uang tersebut dalam rekening khusus untuk para korban serangan-serangan tersebut (bbc.com/indonesia). []