Surabaya, (Tagar 17/10/2017) – Merayakan HUT Provinsi Jawa Timur ke-72, “Duet Maut” Ki Manteb Soedharsono dan Ki Anom Suroto akan tampil dalam Festival Wayang Kulit 2017 di Lapangan Makodam V Brawijaya, Jalan Hayam Wuruk, Surabaya, Selasa (17/10) pukul 19.00 WIB.
Dalam pagelaran wayang kulit yang terbuka untuk umum itu akan dihadiri Wakil Gubernur Jawa Timur (Jatim) Drs H Saifullah Yusuf serta dimeriahkan oleh Ki Bayu Aji, Sinden Eka Kebumen, Lawak Limbukan bersama Cak Kartolo Cs, Didik Nini Thowok, dan Gareng Semarang bersama Cak Dikin.
“Duet Maut” Ki Manteb Soedharsono dan Ki Anom Suroto yang membawakan lakon “Babad Wonomarto” diperkirakan bakal berlangsung seru.
Ki Manteb Soedharsono
Sebagaimana diketahui, nama Ki Manteb Soedharsono telah melekat dalam balutan dinamika jagat pedalangan Indonesia. Bahkan, sosok Ki Manteb menjadi salah satu dalang yang mampu menyulam masa silam dan merajut masa depan kehidupan wayang Indonesia.
Dalam alur historis jagat pedalangan Indonesia, Ki Manteb Soedharsono didudukkan sebagai tokoh pembaharu. Pasalnya, Ki Manteb merupakan dalang kondang yang berhasil membuat fenomena baru dengan mengeksploitasi gerak wayang. Tradisi pedalangan yang semula sangat fenomenal di bidang catur, telah diubah dengan bidang sabet wayang.
Semenjak munculnya Ki Manteb, fenomena sabet menggejala di kalangan dalang-dalang muda yang menggantikan trend catur wayang. Lantaran piawai dalam bidang sabet wayang, Ki Manteb mendapat gelar “dalan gsetan” dari tokoh sesepuh pewayangan dan mantan Menteri Penerangan Boedihardjo.
Corak estetika baru pada pakeliran Ki Manteb Soedharsono ditunjukkan pada garapan lakon, catur, sulukan, dan gending. Pada garap lakon, Ki Manteb mengacu pada garapan ‘pakeliran padat’ hasil kreativitas dari ASKI Surakarta, dengan kecenderungan menghadirkan adegan-adegan yang secara signifikan membentuk alur lakon, sehingga tidak terjadi pengulangan dan penampilan adegan yang tidak penting.
Pada sajian catur, yang meliputi janturan, pocapan, dan ginem, Ki Manteb memiliki kecenderungan mengubah bahasa klise dalam janturan dan pocapan dengan cara mengadakan penambahan dan penggantian wacana janturan dan pocapan.
Dalam sajian ginem wayang, ia memiliki kecenderungan menampilkan dialog tokoh secara proporsional menyesuaikan persoalan yang dibahas. Selain pengaruh ‘pakeliran padat’, Ki Manteb mengaku banyak dipengaruhi Ki Nartasabda, terutama dalam dramatisasi ginem wayang.
Dalam hal gending, Ki Manteb mengadakan inovasi dengan cara menata gending sendiri atau merekrut seorang penyusun gending dalam setiap pergelaran wayang. Ki Manteb juga menggunakan berbagai peralatan musik non-gamelan, seperti: rebana, klarinet, bas-drum, terompet, snardram, symbal, dan organ.
Peralatan tersebut digunakan untuk membuat aransemen lagu selingan dan memberikan efek tertentu pada gerak wayang. Gejala estetik seperti ini disambut para dalang lain sebagai kiat untuk menjawab pangsa pasar, sehingga instrumen non gamelan menggejala di setiap pementasan dalang di berbagai daerah.
Ki Manteb memberikan tawaran baru dalam hal sulukan wayang dengan menyajikan sulukan wayang dari tradisi pedalangan keraton dicampur gaya sulukan dari pedalangan lain, seperti sulukan Banyumasan, Yogyakarta, Kedu, Jawa-timuran, dan gaya pedesaan.
Oleh penggemarnya, karena keterampilannya memainkan wayang, Ki Manteb tidak hanya dianggap sebagai pelopor perpaduan seni pedalangan dengan peralatan musik modern. Bintang iklan Oskadon Obat Sakit Kepala (1996-Sekarang) ini pun dijuluki penggemarnya sebagai ‘Dalang Setan’.
Ki Anon Suroto
Sementara Ki Anom Suroto dikenal sebagai dalang laris. Sejak 1969, Ki Anom Suroto sudah tampil di RRI (Radio Republik Indonesia), setelah melalui seleksi ketat. Tahun 1978 ia diangkat sebagai abdi dalem Penewu Anon-anon dengan nama Mas Ngabehi Lebdocarito.
Hingga akhir abad ke-20 ini, Anom Suroto adalah satu-satunya yang pernah mendalang di lima benua, antara lain di Amerika Serikat (1991) dalam rangka pameran KIAS (Kebudayaan Indonesia di AS).
Ia pernah juga mendalang di Jepang, Spanyol, Jerman Barat, Australia, dan banyak negara lainnya. Khusus untuk menambah wasasan pedalangan mengenai dewa-dewa, Dr Soedjarwo, Ketua Umum Sena Wangi, pernah mengirim Ki Anom Suroto ke India, Nepal, Thailand, Mesir, dan Yunani.
Tahun 1995 Ki Anom Suroto memperoleh Satya Lencana Kebudayaan RI dari Pemerintah RI.
Tahun 1993, dalam Angket Wayang yang diselenggarakan dalam rangka Pekan Wayang Indonesia VI-1993, Anom Suroto terpilih sebagai dalang kesayangan.
Anom Suroto yang pernah mendapat anugerah nama Lebdocarito dari Keraton Surakarta, pada 1997 diangkat sebagai Bupati Sepuh dengan nama baru Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Lebdonagoro.
Selain aktif mendalang, ia juga giat membina pedalangan dengan membimbing dalang-dalang yang lebih muda, baik dari daerahnya maupun dari daerah lain. Secara berkala, ia mengadakan semacam forum kritik pedalangan dalam bentuk sarasehan dan pentas pedalangan di rumahnya di Jalan Notodiningratan 100, Surakarta.
Di sela kesibukannya mendalang Anom Suroto juga menciptakan beberapa gending Jawa, di antaranya Mas Sopir, Berseri, Satria Bhayangkara, ABRI Rakyat Trus Manunggal, Nyengkuyung Pembangunan, Nandur Ngunduh, Salisir, dan seterusnya.
Dalang yang rata-rata pentas 10 kali tiap bulan itu, juga menciptakan sanggit lakon sendiri antara lain Semar mbangun Kahyangan, Anoman Maneges, Wahyu Tejamaya, Wahyu Kembar dan lain-lain.
Babad Wanamarta
Dalam sejumlah literatur disebutkan, Babad Wanamarta menceritakan tentang Resiwara Bisma mengizinkan Prabu Dretarastra membagi Kerajaan Hastina menjadi dua. Para Pandawa mendapat bagian Hutan Wanamarta yang kemudian dibuka menjadi negara baru, bernama Kerajaan Amarta, yang beribukota di Indraprasta.
Di awal kisah, Prabu Dretarastra di Kerajaan Hastina memimpin pertemuan yang dihadiri Adipati Yamawidura, Patih Sangkuni, Resi Druna, dan Resi Krepa. Dalam pertemuan itu Prabu Dretarastra membicarakan hasil kunjungannya ke Padepokan Talkanda untuk meminta petunjuk Resiwara Bisma mengenai perselisihan para Pandawa dan Kurawa atas takhta Hastina.
Awal mula perselisihan adalah karena para Pandawa dan Dewi Kunti dilaporkan tewas dalam kebakaran di Istana Waranawata. Prabu Dretarastra pun melantik Raden Suyudana sebagai putra mahkota yang baru, bergelar Raden Kurupati, yaitu untuk menggantikan Raden Puntadewa.
Tak disangka, ternyata para Pandawa masih hidup dan pulang ke Kerajaan Hastina setelah memenangkan sayembara Dewi Drupadi. Karena Raden Puntadewa masih hidup, maka Raden Kurupati harus rela mengembalikan jabatannya. Namun, Raden Kurupati menolak.
Akhirnya diadakan sayembara untuk menentukan siapa yang lebih berhak menjadi putra mahkota di antara mereka. Sayembara dipimpin Resi Druna, meliputi lomba mengunduh jambu lima warna, lomba menimbang pihak mana yang lebih berat, serta lomba menggali sungai yang menghubungkan Pegunungan Dihyang dengan Laut Selatan.
Sungai yang digali para Pandawa bernama Kali Sarayu sesuai dengan permintaan Resi Druna, sedangkan sungai yang digali para Kurawa bernama Cingcing Guling gagal mencapai Laut Selatan.
Siapakah pemenang dalam perkara tersebut? Pemenangnya dapat disaksikan dalam “Duet Maut” Ki Manteb Soedharsono dan Ki Anom Suroto yang disajikan gratis untuk khalayak umum. (yps)