Sineas Ernest Prakasa mengekspresikan kekecewaannya terhadap kebijakan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang akan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025.
Kebijakan ini telah tercantum dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan akan diterapkan secara bertahap, dari 11% pada 2022 menjadi 12% pada 2025.
Ernest Prakasa mengecam kebijakan tersebut melalui cuitannya di media sosial, menyebutnya sebagai tindakan yang "gila".
Ia menyoroti para pejabat yang menyetujui kebijakan ini, mengekspresikan ketidakpuasannya dengan cuitan, "Gila. Bener-bener gila kalian semua." Reaksi Ernest ini mencerminkan kekhawatiran banyak pihak terhadap dampak kenaikan PPN terhadap ekonomi masyarakat.
Banyak warganet juga menyuarakan kritik mereka di kolom komentar. Salah satu warganet menekankan bahwa kenaikan PPN 1% bukanlah sesuatu yang sederhana. "PPN naik 1% itu ga sesimpel harga akan naik sebesar 1%.
Perusahaan manufaktur, bahan baku, mesin, reagen, dan lain-lain akan kena pajak lebih tinggi. Akibatnya cost produksi jadi lebih tinggi, mau nggak mau harga jual jadi lebih tinggi," ujarnya. Kenaikan biaya produksi ini dikhawatirkan akan berdampak langsung pada harga jual produk, membebani konsumen.
Warganet lain menambahkan bahwa pemerintah memiliki tiga pilihan untuk menutupi kebutuhan anggaran yang membesar: menaikkan pajak, berutang, atau mencetak uang.
"Kalo cetak uang kemungkinan besar inflasi, debt ratio kita sudah lumayan tinggi, akhirnya dipilih menaikkan pajak," kata warganet tersebut. Pilihan ini menunjukkan bahwa pemerintah berusaha menghindari risiko inflasi dan utang yang lebih tinggi, meskipun kenaikan pajak juga memiliki dampak negatif.
Sri Mulyani, dalam rapat kerja DPR komisi XI, menegaskan bahwa pemerintah akan memberikan keringanan pajak untuk sejumlah jenis barang atau jasa.
"Sebetulnya ada loh dan memang banyak kalau kita hitung, banyak sekali bisa sampaikan detail tentang fasilitas untuk dibebaskan atau mendapatkan tarif lebih rendah itu ada dalam aturan tersebut," ujarnya.
Meskipun demikian, kebijakan ini masih menuai banyak protes dari masyarakat yang khawatir dengan dampaknya terhadap daya beli dan kesejahteraan ekonomi.