Jakarta - Pakar hukum pidana sekaligus pengamat antikorupsi Abdul Fickar Hadjar menanggapi Peraturan Presiden (Perpres) turunan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Dia menjelaskan, Perpres tersebut memang dapat memperkuat kewenanganan KPK melakukan supervisi atau mengambil alih kasus Tipikor dari instansi penegak hukum lain. Tetapi, kata dia, efektif atau tidaknya Perpres yang baru diteken Presiden Jokowi itu tetap tergantung pada komisioner KPK.
Diragukan efektivitasnya.
"Apalagi komisionernya polisi aktif, akan menimbulkan konflik kepentingan jika harus mengambilalih kasus korupsi dari kepolisian," ujar Fickar dalam pesan singkatnya kepada Tagar, Rabu, 28 Oktober 2020.
Baca juga: Dapat Perpres Supervisi, KPK Bisa Ambil Alih Kasus dari Polri - Kejagung
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. (Foto:Instagram/fickarhadjar)
Fickar secara terang-terangan meragukan efektivitas Perpres supervisi tersebut. Terlebih, apabila melihat komposisi pimpinan lembaga antirasuah yang dinahkodai polisi aktif Komjen Firli Bahuri sebagai Ketua KPK.
"Diragukan efektivitasnya," ucap dia.
Baca juga: ICW Laporkan Firli Bahuri dan Karyoto ke Dewas KPK
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi menerbitkan Perpres turunan UU KPK. Dalam Perpres itu, dari hasil supervisi, KPK dapat mengambil alih kasus korupsi dari Polri dan Kejaksaan Agung (Kejagung).
Perpres yang diterbitkan dengan Nomor 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tipikor itu diteken Presiden Jokowi pada 20 Oktober 2020, dan berlaku pada saat tanggal diundangkan, yakni 21 Oktober 2020.
Di dalamnya, terdapat 11 pasal yang mengatur cara-cara KPK melakukan supervisi kasus korupsi di lingkungan Polri dan Kejagung. Sebagai contoh, langkah pertama yang dilakukan lembaga antirasuah apabila hendak melakukan supervisi adalah bersurat ke kepala instansi hukum terkait, yaitu Kapolri dan Jaksa Agung. []