Yogyakarta - Tradisi Keraton Yogyakarta yang sudah berjalan selama ratusan tahun ikut terdampak pandemi Corona, salah satunya adalah tradisi Garebeg Sawal. Tradisi yang dicetuskan oleh pendiri Keraton Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) I ini terpaka ditiadakan.
Keraton Yogyakarta mengumumkan secara resmi melalui akun Twitter @kratonjogja perihal meniadakan hajad dalem ini. Berikut isi pemberitahuan tersebut:
Seiring dengan kondisi tanggap darurat Covid-19, diberitahukan bahwa Kegiatan Hajad Dalem Garebeg Sawal @kratonjogja tahun ini yang ditandai dengan arak-arakan gunungan dan prajurit keraton yang sedianya berlangsung pada 1 Sawal Wawu 1953/1441 H akan ditiadakan. Termasuk juga Numplak Wajik yang digelar beberapa hari sebelum Garebeg, tidak akan diselenggarakan.
Hal ini dilakukan sebagai upaya pencegahan terhadap risiko penyebaran virus korona yang dapat terjadi dalam kerumunan massa. Semoga kesehatan, kekuatan, kesabaran selalu menyertai, serta situasi segera pulih kembali.

Gerebeg dan Numplak Wajik
Berdasarkan website Keraton Yogyakarta www.kratonjogja.id menyebutkan, Garebeg merupakan salah satu upacara penting di Keraton Yogyakarta yang bisa disaksikan dan diikuti oleh masyarakat umum.
Dalam satu tahun Jawa, keraton menggelar tiga upacara Garebeg; Garebeg Sawal pada tanggal 1 Sawal (Idul Fitri), Garebeg Besar pada tanggal 10 Besar (Idul Adha), dan Garebeg Mulud pada tanggal 12 Mulud (Maulid Nabi).
Pada ketiga Garebeg tersebut, keraton mengeluarkan gunungan sebagai simbol sedekah Sultan kepada rakyat. Gunungan tersebut kemudian dibagikan kepada masyarakat yang hadir.
Sedangkan Numplak Wajik dilaksanakan tiga hari sebelum Garebeg di Panti Pareden, Plataran Kemagangan. Upacara ini menandai dimulainya proses merangkai gunungan. Numplak Wajik dilaksanakan sore hari selepas waktu Asar, sekitar pukul 15.30 WIB.
Istilah Numplak Wajik mengacu pada inti kegiatan upacara tersebut. Sebakul wajik, kue dari ketan yang direbus dengan gula merah dan santan kelapa, ditumplak (dituang) untuk dijadikan pondasi Gunungan Wadon. Gejog lesung, musik dari bunyi lesung yang dipukul dengan alu, dimainkan selama upacara berlangsung.
Saat upacara usai, lulur berwarna kuning pucat yang terbuat dari dlingo dan bengle dibagikan kepada Abdi Dalem maupun pengunjung yang hadir. Gejog lesung dan lulur dlingo bengle tersebut dipercaya sebagai penolak bala. []