Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebut penambahan kewenangan Dewan Pengawas (Dewas) Televisi Republik Indonesia (TVRI) menjadi sumber ketidakharmonisan hubungan kerja di tubuh lembaga penyiaran publik (LPP) dengan jajaran direksinya.
Anggota III Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi mengatakan hal tersebut menjadi salah satu temuan signifikan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja LPP TVRI yang disampaikan kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hari ini.
"Salah satu poin yang kami temui adalah Dewas TVRI menganggap dirinya setara dengan DPR dan BPK," ujar Achsanul Qosasi di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu, 26 Februari 2020.
Baca juga: Nico Siahaan Bergerilya Buntut Pemecatan Helmy Yahya
Achsanul menambahkan kebijakan lain yang dilanggar adalah pengangangkatan Dewas TVRI seharusnya berasal dari kalangan noneselon. Hal ini berujuk pada Permasalahan pada PP 13/2005 tentang LPP TVRI. Dalam Pasal 18 ayat (1) menyebutkan bahwa Pengawas adalah jabatan noneselon.
"LPP TVRI menafsirkan sendiri bahwa jabatan noneselon adalah pejabat negara setingkat menteri, ketua anggota KPK dan BPK," katanya.
Sehingga, sambung Achsanul, pada praktiknya selain mendapatkan tunjangan transportasi sebesar Rp 5 juta per bulan, dewas bahkan mendapatkan fasilitas kendaraan dinas setara eselon I dan tiket penerbangan kelas bisnis.

Selain itu, Dewas juga mempunyai hak memberhentikan jajaran direksi sebelum habis masa jabatan apabila tidak dapat memenuhi kontrak manajemen. Padahal, Direktur Utama terdahulu TVRI, yakni Helmy Yahya telah memperoleh capaian kinerja 100 persen pada beberapa sektor.
"Seharusnya jika sudah memenuhi kriteria kinerja 100 persen itu mendapatkan skala poin empat atau lima. Tetapi dewas memberikan penilaian hanya satu dan dua, ini jelas subjektif sekali," tutur dia.
Dalam pemeriksaan ini, BPK tidak menyertakan menghitung potensi kerugian negara karena memang tidak diamanatkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) TVRI.
"Rekomendasi BPK adalah kami meminta pemerintah memperbaiki regulasi yang saat ini tumpang-tindih. Kami juga meminta pemerintah mencabut peraturan Dewan Pengawas TVRI yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku," ucap Achsanul.
Dewan Pengawas TVRI secara resmi memutuskan untuk mencopot Helmy Yahya sebagai direktur utama pada 16 Januari 2020, karena dianggap tidak sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2005 tentang LPP TVRI.
Sebelum keputusan itu dibuat, Helmy sempat dinonaktifkan dewas berdasarkan SK Dewan Pengawas LPP TVRI Nomor 3 Tahun 2019 tertanggal 4 Desember 2019.
Helmy Yahya pun berusaha mempertahankan posisinya melalui nota pembelaan yang dia layangkan kepada dewas pada penghujung tahun lalu. Akan tetapi, pleidoinya ditolak mentah-mentah oleh dewas. []