Gugat Hak Milik Tanah, Silakan Tinggalkan Yogyakarta

GKR Hemas mempersilakan penggugat UU Keistimewaan meninggalkan Yogyakarta. UU Keistimewaan lahir karena merupakan aspirasi masyarakat.
Anggota DPD RI GKR Hemas saat menghadiri diskusi publik di Kantor DPD RI Perwakilan DIY Jalan Kusumanegara Yogyakarta, Kamis, 21 November 2019. (Foto: Tagar/Agung Raharjo)

Yogyakarta - Permaisuri Keraton Yogyakarta yang juga Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Gusti Kanjeng Ratu (GKR) mempersilakan meninggalkan Yogyakarta jika tidak sepakat dengan Undang-undang nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta. Ungkapan ini ditujukan kepada pihak penggugat UU Keistimewaan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Kalau dia (penggugat UU Keistimewaan) nggak mau tinggal di Yogyakarta, silakan pergi. Kita tidak mau seperti Bali," ujar GKR Hemas saat menghadiri acara diskusi publik di Kantor DPD RI Perwakilan Yogyakarta di Jalan Kusumanagera Kota Yogyakarta, Kamis, 21 November 2019.

Menurut GKR Hemas, pada prinsipnya tidak masalah terkait munculnya gugatan UU Keistemewaan Yogyakarta, karena sebelumnya memang ada pihak-pihak yang mempersoalkan. Namun, jika pihak penggugat memahami kedudukan UU Keistemewaan DIY maka sebetulnya sudah final.

"Ya nggak apa-apa biar saja, gak itu kan memang selalu dipersoalkan. Sebetulnya kalau mereka paham bagaimana kedudukan dari pada UU Keistimewaan Yogyakarta, itu sudah final," ucap dia.

Hal tersebut termasuk perihal urusan pertanahan yang menjadi klausul gugatan. "Termasuk masalah pertanahan itu sudah masuk di dalam konstitusi dalam UU Keistimewaan DIY, itu. Jadi sebetulnya tidak perlu dipersoalkan," kata Ibu Ratu, sapaan akrabnya.

Kalau gak mau tinggal di Yogakarta, silakan pergi, kita tidak mau seperti Bali.

GKR Hemas berpendapat pihak penggugat lebih ingin mencoba peluang judicial review. Meskipun demikian, dia tidak akan diam, tetap akan memantau perkembangan gugatan tersebut. "Ya kita lihat saja nanti kalau ini berjalan, mosok kita diam saja," katanya.

GKR Hemas menjelaskan sejarah Kemerdekaan RI, yang secara sukarela Yogyakarta memiliki jasa besar dengan turut bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keraton Yogyakarta yang sukarela bergabung dengan NKRI tidak pernah meminta ganti rugi.

"Waktu kemerdekaan apakah Keraton itu, ikut dalam kesatuan NKRI ini, apakah pernah minta ganti? Iya, kan? Kan kita tidak pernah minta sesuatu. Jadi kenapa ada yang menuntut, kalau gak mau tinggal di Yogakarta, silakan pergi, kita tidak mau seperti Bali," terang dia.

Wakil Ketua DPRD DIY Huda Tri Yudiana mengatakan UU Keistimewaan Yogakarta tidak dapat dipisahkan dengan aspirasi masyarakat Yogyakarta. "Kita lihat proses penetapannya masyarakat berbondong-bondong ke Jakarta berjuang menyampaikan aspirasi untuk penetapan UU Keistimewaan ini. Berarti undang-undang keistimewaan ini sudah menjadi keinginan masyarakat Yogyakarta," katanya di DPRD DIY Jalan Malioboro Yogyakarta.

Huda mengatakan hal tersebut juga terkait dengan ketentuan pertanahan yang sudah merupakan aspirasi masyarakat Yogyakarta. "Jadi wajar, kalau WNA (warga negara asing) memiliki tanah di DIY, maka yang dikawatirkan kesejahteraan masyarakat DIY akan berkurang. Hak-hak WNI di DIY akan tergusur oleh investor-investor besar dari luar negari," katanya.

Politikus PKS ini mengatakan dalam hal investasi luar negeri, Pemerintah Daerah DIY bukan berarti menutup diri, tapi terakomodasi dalam regulasi terkait penanaman modal.

Huda mengaku tidak melihat adanya kesewenang-wenangan dalam pengaturan pertanahan yang dilakukan oleh Pemda DIY maupun Keraton Yogyakarta dalam penggunaan tanah-tanah di DIY. "SG (Sultan Ground) dan PAG (Pakualaman Ground) bahkan sangat banyak digunakan untuk kepentingan umum, banyak dingunakan untuk kepentingan masyarakat bahkan "tanpa seizin" sekali pun," katanya.

Ia menjelaskan melalui Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) tentang Pertanahan, Pemda DIY melaksanakan penertiban tanah-tanah SG-PAG. "Statusnya bagaimana, pemakainnya untuk apa, jangan sampai ada penggunaan tanah SG-PAG yang tidak sesuai tujuan undang-undang," katanya.

Menurutnya, selama ini pemanfaatan tanah SG-PAG banyak digunakan untuk kepentingan umum. Bahkan Yogyakarta International Airport (YIA) juga di atas tanah PAG, untuk perguruan tinggi, jalan-jalan, untuk sekolah-sekolah, untuk tanah kas desa, itu dari SG. Jadi kesewenang-wenangan itu saya tidak melihat, jadi secara nyata gugatan itu tidak beralasan," katanya.

Sebagai informasi, Felix Juanardo Winata menggugat UU Keistimewaan ke MK terkait Pasal 7 ayat (2) huruf d pada 14 November 2019 lalu. Dia menilai pasal yang diajukan merugikan hak kontitusional penggugat sebagai warga nergara dalam hal memiliki tanah, serta bertentangan dengan UUD 1945.

Gugatan ini berawal saat pria keturunan Tionghoa ini ingin melakukan investasi dengan membeli sebidang tanah berstatus hak milik di wilayah DIY. Saat berupaya mewujudkan keinginannya itu, Felix mengetahui jika ia tidak bisa membeli tanah karena ada aturan yang melarangnya. []

Baca Juga:

Berita terkait
Saat Tionghoa Gugat Hak Milik Tanah, Ini Kata Sultan
Mahasiswa UGM menggugat UU Keistimewaan karena dianggap mendiskriminasi warga Tionghoa soal hak kepemilikan tanah. Sultan anggap hal yang wajar.
Kronologi Sengketa Hak Kekancingan Sultan Ground
PKL yang membuka lapak di atas tanah Sultan Ground terancam tergusur setelah kalah gugatan sengketan hak kekancingan dari Keraton Yogyakarta.
Agar Tanah Kasultanan Yogya dan Kadipaten Tak Hilang
Tanah di Indonesia harus bersertifikat termasuk tanah Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten. Tujuannya agar tidak ada lagi sengketa di kemudian hari.
0
Setahun Bekerja Satgas BLBI Sita Aset Senilai Rp 22 Triliun
Mahfud MD, mengatakan Satgas BLBI telah menyita tanah seluas 22,3 juta hektar atau senilai Rp 22 triliun setelah setahun bekerja