PDI Perjuangan (PDIP) mengecam penahanan Sekjen partai, Hasto Kristiyanto, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tindakan sewenang-wenang. Juru bicara PDIP, Guntur Romli, menuding bahwa penahanan ini menunjukkan KPK telah berubah menjadi alat politik balas dendam, terutama setelah pemecatan Joko Widodo dan keluarganya.
Guntur menekankan bahwa tidak ada urgensi dalam penahanan Hasto. Menurutnya, Hasto tidak akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi perbuatannya. "Kalau kembali pada putusan kasus suap Wahyu Setiawan No 28/2020, yang seharusnya diproses adalah Rosa Mohammad Thamrin yang terbukti memberikan uang Rp500 juta," kata Guntur.
Lebih lanjut, Guntur mengkritik KPK karena hanya mengejar suap dari pihak Saeful Bahri dan Harun Masiku, yang dikaitkan dengan PDIP. "Ini menunjukkan KPK melakukan tebang pilih dan menindak sesuai pesanan politik," tambahnya. Guntur juga menegaskan bahwa tim hukum Hasto sedang dalam proses mengikuti sidang praperadilan untuk dua sprindik.
Sidang praperadilan pertama yang diajukan Hasto tidak diterima oleh majelis hakim, namun sidang praperadilan kedua akan digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 3 Maret mendatang. KPK resmi menahan Hasto Kristiyanto yang telah berstatus tersangka dalam dugaan suap pergantian antar waktu (PAW) Harun Masiku dan perintangan penyidikan.
Hasto tampil di konferensi pers KPK dengan mengenakan rompi oranye khas tahanan dan tangan diborgol. Meskipun sempat gagal di praperadilan, Hasto tetap berupaya melalui jalur hukum untuk membuktikan kebenarannya.