Banda Aceh - Hari ini, 147 tahun lalu, kolonial Belanda mengeluarkan maklumat perang dengan Kerajaan Aceh. Perang selama 30 tahun lebih ini berlangsung dalam beberapa tahap dengan pimpinan yang berbeda.
Perang antara Aceh dengan Belanda dimulai pada 26 Maret 1873. Perang ditandai dengan pelepasan tembakan meriam oleh Belanda ke daratan Aceh. Saat itu, pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Kohler.
Sedangkan pasukan Aceh dipimpin Panglima Polim dan Sultan Alaudin Mahmud Syah. Pada 5 April 1873, Belanda mendarat di Pante Ceureumen dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Kohler saat itu membawa 3.198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira.
Perlawanan Kesultanan Aceh merupakan salah satu perjuangan terhebat.
Akibat kegigihannya pejuang Aceh, pasukan Belanda dengan 3000 lebih personelnya dapat dipatahkan. Pimpinan kelompok Belanda Kohler bahkan mati bersimbah darah setelah ditembak oleh pasukan Aceh pada 14 April 1873.
Baca juga: Jejak Belanda di Serambi Mekkah di Atas 2.200 Makam
Jasad Kohler kemudian dibawa ke beberapa tempat dan terakhir dikebumikan di pemakaman militer Belanda atau Kerkhof Petjut di kawasan Desa Sukaramai, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Aceh.

Kematian Kohler membuat Belanda marah bukan kepalang. 10 hari pasca kematian Kohler, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat pasukan Aceh merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman.
Perbutan ini dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Mereka datang di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu'uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Peusangan, Pidie, dan beberapa wilayah lain.
Baca juga: Nasib Istana Belanda Lapuk Dimakan Usia di Aceh
Saat Kohler mati, Belanda bangkit kembali dengan pasukannya yang dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten. Perang ini dinamakan perang Aceh kedua dengan masa tahun 1874-1880.
Saat itu, Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, dan dijadikan sebagai pusat pertahanannya. Pada 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda.
Saat Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indrapuri. Perang pertama dan kedua ini adalah perang total dan frontal, di mana pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat lain.
Selanjutnya, perang Aceh dan Belanda memasuki babak ketiga. Perang ini dimulai pada 1881 sampai 1896. Perang ini dilakukan secara gerilya dan dikobarkan fi sabilillah.
Saat itu, sistem perang gerilya berlangsung sampai tahun 1903. Dalam perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Kemudian, istri Teuku Umar Cut Nyak Dhien mengambil alih pasukan.
Dikutip dari berbagai sumber, perang Aceh dengan Belanda disebut-sebut berlangsung sampai 1904. Ini terjadi saat Kesultanan Aceh menyerah pada Januari 1904. Saat mereka menyerah, bukan berarti perang telah reda.
Sejarawan Indonesia, Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara menyebutkan, perlawanan Kesultanan Aceh merupakan salah satu perjuangan terhebat dan peperangan paling destruktif yang pernah
Kata Azyumardi, Kesultanan Aceh ketika itu dianggap sebagai kekuatan pribumi yang paling utama dalam menolak perluasan kolonialisme, bahkan merupakan wilayah Indonesia yang berhasil dimasuki paling akhir oleh Belanda.
“Pada saat Nusantara masih berdiri kerajaan-kerajaan besar yang berupaya mempertahankan kekuasaan raja dari penjajahan, perlawanan Kesultanan Aceh merupakan salah satu perjuangan terhebat,” ujarnya. []