Makassar - Pesawat Hercules C-130 mendarat dengan mulus di landasan udara Sultan Hasanuddin, Mandai, Maros, Sulawesi Selatan, Rabu siang, 2 Oktober 2019. Mereka yang di dalam pesawat tersebut adalah pengungsi kerusuhan Wamena, Papua.
Setelah pesawat mendarat sempurna, mesin dimatikan, para penumpang turun. Di antara mereka tampak seorang perempuan mengenakan jilbab dan baju warna pink dengan ransel di punggung, menggendong anak kecil. Dua anak lain berjalan di kiri kanannya, beriringan menuju tempat pelaporan manifest.
Perempuan itu bernama Hasriani M. Ia tampak kelelahan. Setelah data diri dan ketiga anak dicatat petugas, ia beristirahat di bawah pohon mangga yang rindang, berbincang dengan Tagar.
Beberaap saat kemudian ketika ditanya apa yang dialami pada hari kerusuhan di Wamena, Senin, 23 September 2019, Hasriani menghela napas berat.
“Saya saat kejadian lagi mengajar di dalam kelas, baru lima menit pembelajaran mulai, terdengar dari kejauhan suara orang-orang marah, dan saat melihat keluar ke arah jendela, sebagian bangunan di dalam kampus sudah terbakar,” tutur Hasriani.
Hasriani 37 tahun, dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Ilmu Politik (STISIP) Amal Ilmiah Yapis Wamena. Tempatnya mengajar ini berada di Jakan Hom-hom, Wamena, lokasi utama kerusuhan.
Kami semua yang ada di ruangan itu tidak ada satu orang pun yang asli Papua. Semua merupakan pendatang.
Pengungsi kerusuhan Wamena di landasan udara Hasanuddin, Maros, Sulawesi Selatan, Rabu, 2 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Aan Febriansyah)
Saat itu begitu mengetahui ada kerusuhan, refleks ia menghentikan perkuliahan, berlari menuju suatu ruangan. Di sana sudah ada 14 staf kampus.
“Kami semua yang ada di ruangan itu tidak ada satu orang pun yang asli Papua. Semua merupakan pendatang. Sekitar lima menit di ruangan itu kami hanya terdiam, barulah saat dirasa tidak ada pergerakan, kami melompat dari jendela posisi di belakang kampus. Tapi saat setelah lompat, kami bertemu orang Papua asli, saat itu saya kira akan meninggal, ternyata orang Papua asli itu malah menyuruh kami masuk ke dalam rumahnya,” kenang Hasriani.
Dengan sesekali meneteskan air mata, Hasriani bercerita saat berada dalam rumah penduduk asli Papua itu, dirinya tidak lagi menggunakan alas kaki, dan pakaian yang digunakan tidak lagi karuan.
“Pemilik rumah itu berbaik hati memberikan celana untuk dipakai, dia bilang kalau pakai rok susah untuk lari,” tutur Hasriani. Ia tidak sempat menanyakan nama orang itu.
Sekitar sejam lamanya Hasriani berada dalam rumah tersebut. Ia tidak sendiri, tapi bersama 14 temannya tadi. Selama satu jam itu juga, wanita asli Kabupaten Enrekang itu tidak hentinya berusaha menelepon suami dan anak-anaknya, bermaksud memastikan kondisinya baik-baik saja. Tapi selama itu juga tidak ada respons, jaringan putus.
“Malah saat saya berada di pengungsian di Polres Jayawijaya, saya lihat keluarga sudah kumpul semua, malahan saya oleh keluarga sempat dikira sudah meninggal, karena kejadian pembakaran tepat di tempat saya mengajar,” kenangnya.
Ia juga menambahkan, meski kini dirinya dan ketiga anaknya sudah berada di Sulawesi Selatan, namun suami tercintanya masih berada di Wamena, bersama sejumlah warga Sulawesi lain.
“Saya tidak tahu apa alasan jelasnya, yang intinya suami saya bertahan di sana. Dan saat siang kembali ke rumah untuk menjaga barang, dan saat malam hari baru kembali ke pengungsian,” tuturnya.
Malahan saya oleh keluarga sempat dikira sudah meninggal.
Barang milik pengungsi kerusuhan Wamena, Rabu, 2 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Aan Febriansyah)
Pesan Khusus dari Mahasiswa
Wanita yang tinggal di Wamena sejak 2009 ini mengatakan dirinya sudah menjadi dosen tetap di kampus tersebut. Saat kejadian ia sedang mengajar 40 mahasiswa baru. Dan rata-rata mahasiswa baru yang diajar dirinya saat itu adalah orang asli Wamena, Papua.
Hasriani mengatakan, saat sebelum kuliah atau sehari sebelum kegiatan mencekam itu dirinya tidak mendapat informasi, tapi dirinya langsung teringat pesan seorang muridnya sepekan sebelumnya.
“Hati-hati minggu depan, Wamena diam tiba-tiba meledak,” ujar Hasriani menirukan ucapan mahasiswanya.
Saat pertama mendapatkan pesan itu, Hasriani bertanya apa maksud ucapan mahasiswa tapi tidak ada balasan, hanya berlalu begitu saja. Barulah pada saat setelah kejadian dan berada di pengungsian baru mengetahui pesan tersirat itu.
“Kalau di sana kan terjadi kegiatan perkelahian itu sudah sering terjadi, dan biasanya ada informasi dulu, kemarin ini tidak ada sama sekali, semua serba mendadak, jadi tidak ada persiapan sedikit pun,” ujarnya.
Hati-hati minggu depan, Wamena diam tiba-tiba meledak.
Relawan meninggalkan pesawat Hercules C-130, Rabu, 2 Oktober 2019. Mereka membantu menangani pengungsi kerusuhan Wamena yang pulang ke kampung halaman. (Foto: Tagar/Aan Febriansyah)
Jalan Kosong dan Penuh Titik Api
Sambil tetap menggendong anaknya, Hasriani kembali menceritakan saat dirinya dijemput aparat kepolisian dari tempat persembunyiannya di salah satu rumah warga Papua. Saat naik ke mobil untuk dievakuasi, dirinya tidak melihat seorang warga sipil di pinggir jalan, hanya ada petugas kemanan yang mencari orang dari luar Papua.
“Saat berada di dalam mobil menuju pengungsian, saya ingat jalanan saat itu sangat sepi, tidak ada orang sipil. Di sepanjang jalan yang sepi itu juga terdapat banyak titik-titik api sisa pembakaran,” ujarnya mengenang kondisi itu.
Meski kejadian ini sangat berbahaya bagi dirinya dan keluarganya, Hasriani berharap kondisi di Wamena bisa kembali kondusif agar perekonomian bisa kembali jalan.
“Kalau sudah aman, saya masih ingin kembali ke sana, sebab saya juga sudah menjadi dosen tetap di tempat saya mengabdi,” katanya.
Kalau sudah aman, saya masih ingin kembali ke sana.
Pengungsi kerusuhan Wamena, berada di dalam bus menunju tempat penampungan sementara, Rabu, 2 Oktober 2019. (Foto: Tagar/Aan Febriansyah)
Kaum Rambut Lurus
Wanita yang telah memiliki kartu tanda penduduk Wamena itu menambahkan, bahwa orang-orang yang rusuh di Wamena tidak pernah mempersoalakan agama apa, yang jelas dalam ingatannya yang menjadi korban kerusuhan mereka adalah kaum rambut lurus.
“Di sana para perusuh tidak melihat orang tersebut agamanya apa, yang ada di sana mempersoalkan jenis rambut, apakah dia keriting atau lurus,” ujarnya.
Di sana juga lanjutnya, perusuh tidak melihat apakah orang itu tua, muda, balita, semua dihabisi jika rambutnya lurus. Demikian juga tidak melihat profesinya apa, semua disamaratakan saja.
“Kalau mendapati orang berambut lurus atau yang bukan orang Papua akan mendapatkan masalah, mereka juga tidak melihat tempat untuk melakukan kejahatan,” tuturnya.
Bukti bahwa perusuh itu tidak mempersoalkan agama, dari sejumlah bangunan yang terdapat di tempat dirinya mengabdi di STISIP Yapis, hanya bangunan musala yang tidak dibakar.
“Sampai saat ini masih berdiri kokoh, hanya saja sebagian kacanya ada yang retak mungkin karena terkena lemparan atau sengaja dipukul saat melakukan penyisiran,” ujarnya.
Beberapa waktu berikutnya Hasriani kembali berjalan, menggendong seorang anak, dan dua anak di kiri kanan, beriringin bersama keluarga lain, menuju mobil yang disediakan tim relawan kemanusiaan, untuk pulang kampung ke Enrekang. []
Baca cerita lain:
- Saksi Mata: Kondisi Wamena Papua Seperti Film Rambo
- Pesan Terakhir Sebelum Meninggal di Kerusuhan Wamena