Jakarta - Hong Kong telah dihapus dari indeks tahunan ekonomi paling bebas di dunia. Penyebabnya, lembaga pemikir yang menyusun tabel menyebut perekonomian kota itu dikendalikan langsung oleh Beijing (baca: China).
Pengumuman penghapusan Hong Kong dari indeks tahunan ekonomi paling bebas di dunia merupakan pukulan berat di tengah upaya Beijing menekan perbedaan pendapat, setelah rangkaian aksi unjuk rasa pro-demokrasi terjadi pada tahun 2019.
1. Kebebasan Politik dan Otonomi Hilang di Hong Kong
The Heritage Foundation, sebuah lembaga pemikir konservatif Amerika Serikat (AS), menerbitkan indeks tahunan tentang seberapa ramah aturan bisnis dan hukum di sebuah negara.
Warga meninggalkan bandara di Hong Kong yang diblokir massa demonstran pada September 2019 (Foto: dw.com/id)
Selama 26 tahun terakhir, Hong Kong menduduki peringkat teratas untuk semua kategori. Prestasi ini merupakan sumber kebanggaan bagi pemerintah kota, yang sering memanfaatkan penghargaan tersebut dalam siaran pers resmi dan brosur investasi yang ditujukan untuk para investor.
Namun, ketika laporan tahunan dirilis pada Kamis (04/03), Hong Kong tidak masuk dalam indeks tersebut, karena penulis meyakini bahwa perekonomian kota itu tidak lagi cukup independen tanpa campur tangan Beijing.
"Hilangnya kebebasan politik dan otonomi yang diderita Hong Kong selama dua tahun terakhir, telah membuat kota itu hampir tidak dapat dipisahkan (dalam banyak hal) dari China, hampir sama seperti Shanghai dan Beijing," kata Edwin J. Feulner, pendiri Heritage Foundation, yang ditulis di Wall Street Journal pada hari Rabu, 3 Maret 2021.
"Hubungan [Hong Kong] dengan Beijing semakin kuat," tambah Feulner, sementara "tradisi hukum umum Inggris, kebebasan berbicara, dan demokrasi telah melemah secara signifikan."
2. Singapura Geser Peringkat Hong Kong
The Heritage Foundation adalah salah satu lembaga pemikir kebijakan utama yang memengaruhi konservatif fiskal di AS. Feulner juga merupakan seorang kritikus vokal terhadap Beijing dan Ketua Victims of Communism Memorial Foundation.

Sebelumnya, pemerintah Hong Kong yang pro-Beijing menerima tabel liga think-tank itu setiap tahun. Pada tahun 2019 ketika Hong Kong didapuk menduduki puncak klasemen selama 25 tahun berturut-turut, pemerintah di bekas koloni Inggris itu melontarkan propaganda, keberhasilan itu menunjukkan "ketahanan ekonomi, kerangka hukum berkualitas tinggi, toleransi rendah terhadap korupsi, tingkat transparansi pemerintah yang tinggi, kerangka peraturan yang efisien, dan keterbukaan untuk perdagangan global."
Tahun lalu, untuk pertama kalinya setelah China memberlakukan undang-undang keamanan nasional, Hong Kong tidak lagi menduduki peringkat teratas dan digantikan oleh Singapura.
China mengklaim undang-undang itu dibutuhkan untuk memulihkan stabilitas Hong Kong.
Namun, pada kenyataannya, peraturan itu telah mengubah hubungan legislatif dan yudikatif Hong Kong dengan Beijing. Perubahan itu juga telah menciptakan kekhawatiran dalam komunitas bisnis internasional [ha/as (AFP)]/dw.com/id. []