Kata "dukana" cukup banyak dipilih oleh pemuisi. Pada tahun 1958, kata "dukana" ini muncul dalam puisi Sapardi Djoko Damono berjudul Ulang Tahun yang dimuat Mimbar Indonesia.
Kemudian pada tahun 1971, puisi Taufiq Ismail berjudul Pantun Terang Bulan di Midwest juga memasukkan kata "dukana". Bahkan kata ini tahun 1982 dipakai judul kumpulan puisi I Gusti Ngurah Parsua, Sajak-Sajak Dukana.
Selanjutnya kata "dukana" muncul dalam sajak Adri Sandra tahun 1996 dalam Memintal Riak. Sutan Iwan Soekri dalam sajaknya berjudul Malinkundang juga memasukkan kata "dukana".
Pada tahun 2000-an kata "dukana" semakin banyak dapat kita jumpai.
Sajak-sajak yang memuat kata "dukana" ini misalnya karya SN Mayasari H (Maya Wulan) dalam Di Tengah Derai Hujan dan Aku Berlutut pada Waktu, dalam karya Arwan Maulana yang berjudul Angin Dukana, dan dalam karya Y. Wibowo berjudul Rumah yang Kubangun.
Staff Pengajar Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Ibnu Wahyudi. (Foto: Tagar/Istimewa)
Kata "dukana" umumnya dipakai oleh para pemuisi dengan makna bernuansa duka atau luka, kecuali pada sajak-sajak SN Mayasari H. Di dalam kamus, memang tertera lema "dukana" ini namun maknanya tidak ada kaitan dengan kedukaan.
KBBI V mendefinisikan "dukana" sebagai 'kuat syahwat, nafsu berahi' seperti tersirat dalam sajak SN Mayasari H. Lalu, mengapa banyak penyajak memakai kata "dukana" dalam makna bernuansa 'duka' atau 'luka'?
Mungkin saja, yang terjadi pada para penyajak tahun 1980-an dan setelahnya adalah keterpengaruhan. Namun, agaknya keterpengaruhannya bukan oleh Sapardi sebab puisi ini belum diikutkan dalam salah satu antologinya, meski nuansa makna yang ditawarkan adalah 'kesedihan'.
Adanya kecenderungan seperti ini, "menciptakan" kata yang ternyata sudah terdapat dalam kamus meskipun beda maknanya, pernah aku tanyakan kepada Sapardi, adakah itu "kecelakaan" atau pelaksanaan atas licentia poetica? "Bisa dua-duanya," jawab Sapardi sambil tertawa. []
Ibnu Wahyudi
Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI