Jakarta - Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan pemerintah harus mempertimbangkan secara matang jika memilih opsi kebijakan penghentian total aktivitas manusia atau lockdown, akibat penyebaran virus corona atau COVID-19.
Pasalnya, kebijakan tersebut akan menimbulkan kerugian yang benar-benar tidak sedikit.
“Lockdown secara keseluruhan berarti pembatasan semua kegiatan di luar rumah, ini memerlukan satu persiapan yang betul-betul matang dan juga berbiaya besar,” ujar Enny kepada Tagar di Jakarta, Selasa, 17 Maret 2020.
Ketika pemerintah memilih kebijakan lockdown, menurut dia dampak yang dibawa akan sangat signifikan terhadap aktivitas ekonomi masyakarat, khususnya sektor usaha informal. Dalam catatannya, lini usaha kecil dan menengah mempunyai porsi sekitar 40 persen dari gerak ekonomi nasional.
“Mereka hidupnya bekerja dari hari ke hari untuk menyabung hidup. Jika aktivitas secara total dihentikan, ini bisa menjadi masalah sosial tersendiri, dan ini yang mesti dipikirkan oleh pemerintah,” tuturnya.

Ia menilai kebijakan lockdown seyogyanya menjadi opsi terakhir yang dimiliki negara guna menangkal penyebaran COVID-19 lebih masif. Sebab, saat ini pemerintah tengah mengoptimalkan sejumlah pilihan yang mungkin saja dapat dijalankan sebelum kebijakan peniadaan total aktivitas manusia itu benar-benar diterapkan.
Meski demikian, Enny menyebut sebenarnya pemerintah pusat maupun beberapa pemerintah daerah sudah melakukan tindakan lockdown. Namun, kebijakan tersebut belum ditetapkan secara komprehensif pada seluruh aspek kehidupan.
“Sekolah-sekolah yang diliburkan pada beberapa daerah di Indonesia itu sebenarnya bentuk lockdown juga, namun bentuknya secara parsial. Artinya, ada upaya dari eksekutif untuk menghentikan laju penyebaran virus corona,”kata dia.
Potensi kerugian finansial yang bakal diterima pemerintah memang terbilang sangat besar apabila pilihan menghentikan seluruh aktivitas manusia benar-benar diterapkan. Sebagai gambaran, redaksi Tagar menggunakan sampel wilayah DKI Jakarta untuk mendapatkan rekaan seberapa besar potensi kerugian finansial apabila opsi lockdown benar-benar dilaksanakan.
Ini memerlukan satu persiapan yang betul-betul matang dan juga berbiaya besar.
Untuk diketahui pula bahwa asumsi berikut mengacu pada data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta pada 2020, berikut penjabarannya.
1. Pajak
Pada sepanjang 2019 lalu, Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta setidaknya dapat memungut pajak dengan jumlah Rp 45, 7 triliun. Artinya, apabila lockdown dilaksanakan selama 14 hari, maka potensi dana pungutan pajak yang mungkin saja menguap mencapai sekitar Rp 1,5 triliun.
2. Ekspor-Impor
Nilai ekspor yang melalui provinsi DKI Jakarta pada 2019 mencapai 54,03 miliar dolar Amerika Serikat (AS). Sedangkan impor sebesar 88,39 miliar dolar AS. Ini berarti ada potensi kehilangan nilai ekspor maupun dan impor masing-masing 2,1 miliar dolar AS dan 3,4 miliar dolar AS dalam dua pekan.
3. Produktivitas Industri
Pada 2018, di Jakarta terdapat tiga golongan industri besar yang menyerap tenaga kerja cukup banyak. Ketiga industri kelompak usaha tersebut adalah industri pakaian jadi dengan 65.979 pekerja, industri makanan dan minuman 22.949 pekerja, serta percetakan dan reproduksi media rekam sebanyak 20.941 pekerja. Secara total, jumlah pekerja di Jakarta dari lintas sektor diperkirakan mencapai 2 juta orang.
Sementara itu,sepanjang 2017 disebutkan bahwa nilai keseluruhan produksi pada industri besar dan sedang sekitar Rp 497,3 miliar. Hasil ini jika dirata-ratakan perhari adalah sebesar Rp 1,38 miliar.
Maka dengan 14 hari lockdown, nilai produksi yang akan hilang ditaksir Rp 19,3 miliar. Angka ini masih belum termasuk perputaran uang sektor industri kecil, mikro, dan menengah. []