Untuk Indonesia

Indonesia dalam Bayang Covid-19

Covid-19 secara perlahan akan menggiring Indonesia pada potensi krisis di sejumlah lini strategis, bisa berdampak pada krisis ekonomi dan politik.
Petugas menggunakan drone (pesawat tanpa awak) menyemprotkan cairan disinfektan di halaman kantor pusat BNI, Jakarta, Jumat, 20 Maret 2020. Penyemprotan disinfektan bagian dari rangkaian program prefentif PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) untuk menekan penyebaran virus corona Covid-19. (Foto: Antara/Dhemas Reviyanto)

Oleh : Aditya Nurullahi Purnama*

Penyebaran wabah Covid-19 di Indonesia yang semakin ganas memberikan kecemasan kolektif apabila ia menjangkit terlalu lama di Indonesia. Covid-19 secara perlahan akan menggiring Indonesia pada potensi krisis di sejumlah lini strategis sehingga tidak menutup kemungkinan membawa Indonesia pada krisis ekonomi yang berbuntut pada krisis politik.

Seorang pengamat pernah berkata, “… bayang-bayang kematian yang diimbulkan Covid-19 kepada seseorang sebenarnya tidak semengerikan dampak jangka panjang yang akan ia timbulkan pada satu negara.”

Guncangan Ekonomi

Hantaman pada sektor ekonomi yang ditimbulkan Covid-19 begitu keras. Menurut laporan yang dirilis OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) pada Maret 2020, GDP global diprediksi akan jatuh sebesar 2,4 % pada 2020. Bahkan pertumbuhan GDP riil Indonesia menyusut sebesar 0,2 % di mana sebelumnya berkisar di angka 5 %.

Masih menurut laporan yang sama, China, sebagai tempat awal persebaran Covid-19 memainkan peran penting dalam ekonomi global. Secara persentase, industri China memberi sumbangsih berkisar 22 % terhadap ekonomi global, kemudian diikuti GDP dan perdagangan global di mana masing-masing memberikan kontribusi sebesar 17 % dan 10 %.

Selain itu, China dikenal sebagai pusat produksi barang dunia dan telah memberikan sumbangsih sebesar 12,8 % terhadap produksi barang dunia. Alhasil, ketika produksi barang di China terhambat maka akan mempengaruhi suplai terhadap permintaan global. Jumlah penawaran yang lebih kecil ketimbang permintaan akan menimbulkan kenaikan harga dari batas wajar.

Hari gelap segera berganti dan matahari tengah menanti untuk terbit.

Dalam hubungannya dengan Indonesia, China memberikan pengaruh signifikan pada sektor perdagangan, pariwisata, dan komoditas lain. Pada sektor industri misalnya, China merupakan salah satu negara supplier bahan baku terbesar bagi industri manufaktur di Indonesia.

Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono menerangkan, hampir 74 % bahan baku industri di Indonesia diimpor dari negeri tirai bambu tersebut. Bahkan, nilai impor baku non-minyak dan gas dari China sejak 2019 mencapai US$ 44,5 juta.

Selain dari sektor manufaktur, industri pariwisata juga memiliki pengaruh signifikan terhadap ekonomi Indonesia. Data dari BPS menunjukan kunjungan wisatawan China ke Indonesia selama periode Januari sampai Juni mencapai 1,05 juta orang. 

Bahkan, dari jumlah 13,6 juta wisatawan mancanegara yang masuk ke Indonesia, turis China menempati posisi kedua terbanyak. Kunjungan mereka setiap tahunnya diperkirakan mencapai 2 juta wisatawan dengan total belanja US$1.400 (Rp 19,2 juta) per kunjungan.

Sejak wabah Covid-19 merebak, angka wisatawan asing dari China menurun drastis, terlebih sejak diberlakukannya travel ban dari pemerintah Indonesia. Kebijakan ini terpaksa dilakukan sebagai upaya mitigasi kendati langkah tersebut disesalkan duta besar China untuk Indonesia.

Berdasarkan keterangan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), sejak pemberlakuan tersebut diprediksi Indonesia akan kehilangan Rp 54,8 trilian dari sektor pariwisata.

Perlu diketahui, pada tutup buku 2018, sektor pariwisata mampu menyumbang devisa terbesar dengan nilai mencapai US$ 19,2 miliar mengalahkan sektor migas di mana Bali tercatat sebagai penyumbang terbesar mencapai 40 %.

Kehadiran wabah Covid-19 memberikan dampak secara sistemik terhadap kondisi ekonomi Indonesia. Terganggunya suplai bahan baku untuk industri manufaktur dari China serta menurunnya jumlah wisatawan akan berdampak krisis pada pemasukan negara. 

Meskipun pemerintah telah meluncurkan kebijakan insentif fiskal berupa penghilangan pajak penghasilan selama 6 bulan ke depan bagi pekerja maupun perusahaan dalam upaya memelihara daya beli masyarakat. Namun, tidak ada ukuran pasti sejauh mana kebijakan insentif tersebut mampu bekerja secara efektif. Apalagi, model kebijakan ini belum tentu dirasakan segmen masyarakat non-urban seperti petani, nelayan, pengrajin, dan lain-lain.

Warwick McKibbin dan Roshen Fernando dalam The Global Macroeconomic Impacts of Covid-19: Seven Scenarios (2020), memaparkan bagaimana wabah Covid-19 berimbas pada sektor ekonomi secara makro. Dengan menggunakan model skenario epidemiologis, mereka memaparkan bahwa penyebaran Covid-19 memberikan pengaruh signifikan pada beberapa lini ekonomi makro, misalnya anggaran pemerintah untuk infrastruktur kesehatan, permintaan konsumsi, biaya produksi dari berbagai sektor, dan tenaga kerja.

Lebih lanjut, alih fungsi anggaran untuk infrastruktur kesehatan akan berpengaruh pada anggaran belanja pada sektor lain yang akan dikurangi. Pasokan suplai akan terganggu sehingga meningkatnya biaya produksi. Biaya produksi meningkat seiring dengan melonjaknya permintaan namun kapasitas yang terbatas. 

Hal ini juga dipengaruhi pemenuhan tenaga kerja untuk industri yang tidak memadai karena wabah yang melanda pegawai sehingga berpengaruh pada kapasitas produksi. Lebih lanjut, pandemi Covid-19 pada akhirnya mengakibatkan investasi dan konsumsi anjlok.

Menurut Fuad Bawazier dalam Virus Corona dan Resesi Ekonomi (2020), dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 3,64 % sampai 3,82 % akan banyak sekali terjadi pemutusan hubungan kerja, angka pengangguran akan meningkat tajam, demikian pula angka kemiskinan. 

Sektor konsumsi yang selama ini berkontribusi lebih dari 50 % PDB akan melemah, daya beli masyarakat semakin merosot. Kondisi pertumbuhan ekonomi tersebut akan menjadi lebih rendah dari kondisi saat terjadinya krisis keuangan global pada tahun 2009, dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,14 %.

Nilai perdagangan barang dan jasa dengan China yang mendadak anjlok akibat corona membuat pemerintah Indonesia perlu mencari alternatif lain. Tingkat ketergantungan Indonesia terhadap China yang cukup tinggi turut berpengaruh pada derajat kemandirian ekonomi yang rendah. Wabah perlu segera ditangani dengan serius sebelum berdampak lebih jauh.

Corona Memicu Instabilitas Politik, Mungkinkah?

Dalam Coronavirus: The Health, Economic and Geopolitical consequences (2020), John Scott menyampaikan bahwa rakyat akan membenci pemerintah yang gagal melindungi warga negaranya. Bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa rakyat tidak akan kembali memilih politisi yang gagal dalam dalam melaksanakan tanggungjawabnya pada pemilu mendatang.

Selain itu, Chris Miller dalam Covid-19 Crisis: Political and Economic Aftershocks (2020), menambahkan bahwa sejak wabah Covid-19 merebak telah terjadi krisis kepercayaan (Problem of Trust) warga negara terhadap kekuasaan.

Lebih lanjut, ia mencontohkan sejumlah kepala negara seperti Moon Jae In (Korea Selatan), Shinzo Abe (Jepang), dan Donald Trump (AS) memperoleh banjir kritik atas ketidakmampuan mereka menangani virus dan membiarkan korban terjangkit terus bertambah.

Melansir dari New York Times, 10 Maret 2020, muncul spekulasi yang menguat bahwa besar kemungkinan Perdana Menteri Shinzo Abe “didepak” lebih awal dari kekuasaan sebelum masa jabatannya berakhir dikarenakan kinerja pemerintah Jepang di bawah kepemimpinannya yang dinilai tidak maksimal dalam pencegahan serta penanganan wabah Covid-19 sehingga menyebabkan 639 warganya terinfeksi disusul 15 kasus kematian. 

Masih menurut Chris, bayang-bayang kejatuhan politik tidak hanya menghantui Shinzo Abe tetapi juga menghantui Donald Trump dan Moon Jae In. Chris menerangkan, kesempatan Trump untuk memenangkan pilpres di periode mendatang bahkan diprediksi semakin mengecil jika Covid-19 terus memberikan dampak pada perlambatan ekonomi bahkan resesi bagi Amerika. 

Per 12 Maret 2020 jumlah kasus pasien yang terinfeksi di negeri Paman Sam ini berjumlah 1.327 dengan jumlah kematian 38 jiwa.

Nasib lebih sial bahkan menimpa Moon. Sejak Korea Selatan ditetapkan sebagai negara dengan infeksi terbanyak setelah China, ratusan ribu warga Korsel menandatangani petisi agar Moon segera turun dari kursi Perdana Menteri. Protes warga tersebut cukup beralasan mengingat sampai hari ini jumlah kematian akibat kasus Covid-19 di Korea Selatan bertambah menjadi 66 jiwa dengan total pasien terinfeksi sebanyak 7.869 kasus per 12 Maret.

Namun, pemerintah Korea Selatan terus berbenah sehingga secara perlahan berhasil menekan angka penularan dan meningkatkan angka pasien yang sembuh.

Jika berkaca pada fenomena global tersebut, Covid-19 tidak bisa hanya dimaknai sebagai wabah penyakit global. Dalam konteks politik, Covid-19 adalah bencana politik yang tercipta secara alamiah atau by nature untuk menguji tingkat kepercayaan publik terhadap pemangku kekuasaan. 

Keterbukaan dan sikap responsif pemerintah akan membantu publik untuk berhenti berspekulasi di tengah keadaan yang dinamis tersebut. Efektivitas pemerintah dalam merespons ancaman pandemi ini akan menunjukkan sejauh mana simpati publik pada kekuasaan terus terpelihara. 

Hal tersebut bisa dilakukan dengan meningkatkan kinerja pemerintah, pusat maupun daerah, dalam penanganan dan pencegahan penularan penyakit agar tidak meluas, dalam konteks geografis maupun dampak multidimensi (ekonomi, politik, sosial).

Bukan hal yang muskil ketika keresahan politik yang terjadi di tengah masyarakat negara-negara tersebut turut ditularkan juga kepada masyarakat Indonesia. Kekuasaan akan semakin diguncang secara alamiah. Legitimasinya mulai dipertanyakan. Apalagi, beberapa isu politik nasional dalam beberapa hari terakhir semakin mempertajam indikasi ke arah tersebut.

Pertama, wacana reshuffle kabinet. Isu ini cukup santer diberitakan pada akhir Februari lalu. Sejumlah pengamat menilai kemunculan wacana ini sebelum genap satu tahun masa pemerintahan Jokowi mengindikasikan ada yang tidak beres dengan “dapur” istana. 

Hal itu diperkuat sikap “gerah” Presiden terhadap Menteri Kesehatan dalam merespons Covid-19 sehingga harus menunjuk Ahmad Yurianto, Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, sebagai juru bicara resmi pemerintah untuk penanganan kasus corona. 

Aroma ketidakharmonisan justru semakin kentara di tengah situasi genting. Publik akhirnya semakin liar berspekulasi seraya mempertanyakan sejauh mana keseriusan pemerintah dalam menangani pandemi Covid 19.

Kedua, gerakan masyarakat sipil semakin solid dan berkesinambungan. Vincent Durac, dalam Protest Movement and Political Change (2013), menyampaikan bahwa tertutupnya sistem politik (pengaruh oligarki) disertai tekanan kondisi sosial ekonomi di masyarakat mendorong tuntutan yang lebih kuat dari masyarakat untuk bergantinya kekuasaan. 

Ia menambahkan, gerakan massa tersebut biasanya bersifat informal, menggunakan perangkat komunikasi yang baru, dan memiliki watak ofensif kepada aparatur negara.

Riak-riak protes masyarakat terhadap kekuasaan sebenarnya telah tumbuh secara sporadis di beberapa daerah. Gerakan mahasiswa #ReformasiDikorupsi pada 2019 lalu tidak bisa dimaknai sebagai klimaks semata. Justru, ia adalah sumbu awal yang menyemai benih-benih protes selanjutnya. 

Masyarakat semakin cerdas politik sehingga mereka lebih kritis pada isu yang menyangkut hajat hidup mereka. Hal tersebut terbukti dari banyaknya demonstrasi akhir-akhir ini yang diinisiasi aliansi masyarakat sipil untuk menolak RUU Omnibus Law. Meskipun terjadi secara sporadis di sejumlah daerah, aksi-aksi dengan mengusung narasi yang sama ini menandakan bahwa terjadi kemerosotan public trust terhadap kekuasaan. 

Fenomena protes menolak RUU Omnibus Law mencerminkan sinisme publik dalam melihat kinerja pemerintah yang mulai mengkhawatirkan bahkan sebelum genap satu tahun berkuasa. Hal ini perlu mendapat perhatian dan ditanggapi lebih cermat agar public trust terhadap pemerintah bisa tetap terpelihara hingga akhir periode kekuasaan.

Bukankah kita menghendaki kemaslahatan bagi semua? 

Segala prediksi yang penulis ungkapkan di atas sifatnya masih spekulatif dengan melihat data dan pola-pola yang terjadi di masyarakat maupun realitas global yang terjadi saat ini. 

Arnold Toynbee, seorang sejarawan terkemuka memandang bahwa sejarah bergerak seperti siklus. Ia akan terulang melalui pola-pola yang sama kendati dalam rentang waktu dan pelaku yang berbeda. Kemajuan dan kemunduran sebuah masyarakat dalam sebuah peradaban ditentukan dari cara mereka merespons tantangan.

Kita selalu berharap bahwa kesiapan maupun sikap kita dalam menghadapi pandemi Covid-19 tidak diperkeruh isu politik. Pemerintah pusat tidak perlu menaruh kecurigaan politis kepada pemerintah daerah yang mengambil tindakan inisiatif lebih awal. Pemerintah daerah juga perlu mengedepankan koordinasi yang baik di awal dengan pemerintah pusat sebelum mengambil kebijakan strategis di wilayah. Agar bisa saling sinergis dan tidak saling curiga.

Keselamatan dan perlindungan terhadap warga negara perlu diutamakan. Kepercayaan publik pada kekuasaan akan terpelihara dengan sendirinya seiring kehadiran negara di tengah mereka. Segala kebijakan yang berorientasi pada kemanusiaan pada akhirnya akan menciptakan keselamatan bagi sebuah negara. Dalam situasi krisis ini, respons yang tepat dari pemerintah akan menghasilkan kemaslahatan rakyat, bangsa, dan negara. Hari gelap segera berganti dan matahari tengah menanti untuk terbit.

*Tenaga Ahli Anggota Komisi VIII DPR RI

Baca juga:

Berita terkait
Denny Siregar: Saya Takut Allah, Gak Takut Corona
Ketika saya akhirnya harus membatasi diri dari sosialisasi berlebihan di keramaian, itu bukan karena takut virus corona. Tulisan Denny Siregar.
Denny Siregar: Jokowi Akhiri Politisasi Corona
Jokowi tak ingin bencana virus corona dipolitisasi, bahkan oleh pemerintah daerah yang sebentar lagi akan menyelenggarakan Pilkada. Denny Siregar.
Denny Siregar: Terangnya Dokter Handoko Gunawan
Kisah Handoko Gunawan, dokter ahli paru di Graha Kedoya ini adalah fakta bahwa superhero itu ada. Terangnya menembus ras dan agama. Denny Siregar.
0
Uni Eropa Hentikan Penjualan Mobil BBM Mulai 2035
Kebijakan Uni Eropa untuk meredam perubahan iklim ulai tahun 2035 hanya mobil dengan nol emisi C02 yang boleh dijual di Uni Eropa