Ini Cara Uni Eropa Dukung Filipina Melawan China di Laut China Selatan

Pekan lalu, kapal penjaga pantai China menembakkan meriam air ke arah kapal suplai logistik Filipina di dekat Gosong Thomas Kedua
Kapal penjaga pantai China menyerang kapal Filipina di dekat Gosong Thomas Kedua, Desember 2023 (Foto: dw.com/id - Philippine Coast Guard/AP/picture alliance)

TAGAR.id – Uni Eropa (UE) mulai aktif mengecam agresi China terhadap nelayan dan kapal Filipina. Namun begitu, posisi Uni Eropa terkait pertahanan dan klaim Manila di Laut China Selatan masih dipenuhi ambiguitas. David Hutt melaporkannya untuk DW.

Pekan lalu, kapal penjaga pantai China menembakkan meriam air ke arah kapal suplai logistik Filipina di dekat Gosong Thomas Kedua, sekitar 200 kilometer di barat Pulau Palawan. Insiden itu melukai beberapa kru dan merusak kapal berbadan kecil itu. Perundungan oleh China belakangan semakin marak dilaporkan di wilayah yang diperebutkan di Laut China Selatan.

Sejak lama, Beijing dan Manila bersitegang soal klaim teritorial di Kepulauan Spratly. Gosong Thomas Kedua atau Ayungin dalam Bahasa Tagalog merupakan salah satu dari 13 kumpulan atol dan karang yang membentuk Kepulauan Spratly dan sebagian besar dikuasai Vietnam, Filipina dan China.

Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. telah memperingatkan China bahwa pihaknya akan "mengambil langkah proporsional dan disengaja melawan serangan berbahaya oleh oknum pasukan penjaga pantai dan milisi maritim China." Presiden Filipina itu merujuk kepada kelompok nelayan yang digerakkan Beijing untuk memperkuat klaim teritorialnya.

Pada 25 Maret lalu, setelah insiden di Gosong Thomas Kedua, Manila.

semprotan air ke kapal filipinaSebuah kapal Penjaga Pantai China meluncurkan apa yang dikatakan Penjaga Pantai sebagai semprotan meriam air peringatan ke arah kapal Filipina. (Foto: voaindonesia.com/via Reuters)

Manuver berbahaya China

Klaim China menjangkau hingga penjuru Laut China Selatan yang dikenal dengan sembilan garis titik. Keberadaannya bersinggungan dengan Zona Ekonomi Eksluksif, ZEE, milik lima negara di Asia Tenggara, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei dan Indonesia di Laut Natuna Utara.

Silang sengketa terbesar terjadi antara China dengan Vietnam dan Filipina. Di Gosong Thomas Kedua, Manila mengelola sebuah pos angkatan laut di atas rongsokan sebuah kapal transportasi. Kapal bernama Sierra Madre yang sengaja dikaramkan pada 1999 itu sekaligus menjadi bukti kedaulatan Filipina atas gosong tersebut.

Tuduhan agresi oleh kapal penjaga perbatasan China dijawab oleh juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, dengan menegaskan pihaknya "akan terus mengambil langkah tegas untuk melindungi kedaulatan teritorial, serta hak dan kepentingan maritim China."Kedutaan Besar China di Manila memperingatkan pemerintahan Marcos Jr. sedang "bermain dengan api."

Insiden itu juga memicu respons internasional. Amerika Serikat, misalnya, menegaskan "komitmen baja" untuk melindungi sekutu lamanya di Asia Tenggara itu. Uni Eropa pun ikut melayangkan protes keras kepada pemerintah di Beijing."Serangkaian manuver berbahaya, pemblokiran dan penggunaan meriam air yang berulang,” oleh penjaga pantai dan milisi maritim China terhadap kapal-kapal Filipina "merupakan provokasi berbahaya," tulis UE dalam pernyataan persnya, 23 Maret lalu.

"Tindakan ini membahayakan nyawa manusia, mengganggu stabilitas regional dan melanggar norma internasional, serta mengancam keamanan di kawasan."Sebelas negara anggota UE juga menerbitkan pernyataan sepihak yang mengkritik aksi China dan menyuarakan dukungan bagi Filipina.

Carl Thayer, profesor emeritus di Universitas New South Wales, mengatakan kepada DW bahwa tanggapan kritis UE soal agresi China di LCS "belum pernah terjadi sebelumnya”, meski bukan "tidak terduga”, karena Eropa memiliki kepentingan besar dalam menjaga stabilitas di jalur perdagangan terbesar di dunia itu.

Peta Laut China SelatanPeta Laut China Selatan (Foto: voaindonesia.com/VOA)

Posisi Eropa di Laut China Selatan?

Eropa cenderung mengikuti jejak AS yang sejak beberapa tahun terakhir memusatkan dukungan militer kepada Filipina untuk melawan klaim China di LCS.

Sejak tahun 2022, Manila secara resmi memiliki perjanjian pertahanan dengan Uni Eropa dan Inggris. Sementara Prancis sedang merundingkan kesepakatan tambahan untuk mengirimkan pasukan dan mengakses pangkalan militer FIlipina. Belakangan, Inggris, Perancis, Jerman, Italia dan Belanda juga acap mengerahkan kapal perang ke Laut China Selatan untuk latihan kebebasan navigasi, FONOPs, bersama Filipina. Akhir tahun ini, Italia dilaporkan bakal mengirim kapal induknya, "Cavour" ke perairan tersebut.

Pada pertengahan Maret lalu, utusan khusus UE untuk kawasan Indo-Pasifik Richard Tibbels mengatakan, Eropa ingin melakukan kunjungan pelabuhan dan latihan angkatan laut bersama Filipina. Rencana itu adalah bagian dari strategi memperluas koordinasi maritim "lebih jauh ke timur di kawasan Indo-Pasifik."

"Kami punya kepentingan besar untuk menjamin kebebasan navigasi dan penerbangan, serta sistem perdagangan global agar tidak terpengaruh oleh meningkatnya ketegangan di kawasan ini,” kata Tibbels kepada Associated Press bulan ini.

Apa pilihan Eropa?

Meski telah menyepakati perjanjian militer, Filipina tidak memiliki pakta pertahanan dengan Eropa. Sebabnya, sebagian besar analis menilai skeptis kemampuan Eropa membantu negeri kepulauan itu secara militer jika menghadapi invasi China.

"UE tidak mempunyai kapasitas militer yang cukup untuk mencegah perang atau kemampuan untuk mempengaruhi jalannya konflik di kawasan ini,” kata Mathieu Droin, peneliti tamu di Center for Strategic and International, CSIS, yang berbasis di Washington. "Instrumen yang dimiliki UE adalah pengaruh ekonomi dan perdagangan di China dan negara-negara Asia Tenggara," kata Droin kepada DW.

Alexander Vuving, profesor di Pusat Studi Keamanan Asia-Pasifik Daniel K Inouye di Honolulu, AS, mengatakan bahwa ketegangan di Laut China Selatan tidak hanya terjadi "dalam ranah fisik tetapi juga dalam ranah kognitif.”

Dia mengacu pada apa yang disebut "tiga perang” yang dilancarkan Beijing, yakni perang psikologis, perang opini publik dan perang hukum."Meskipun kondisi geografi merugikan Eropa dalam perang laut melawan China, Eropa sebenarnya memiliki kapasitas yang besar untuk memenangkan ‘tiga perang' China,” kata Vuving.

Para analis berpendapat, Eropa dapat melawan Beijing dengan menjalin ikatan ekonomi yang lebih erat dan memperkuat dukungan bagi Filipina jika terjadi agresi China. Pada 18 Maret lalu, UE dan Filipina sepakat untuk melanjutkan negosiasi perjanjian perdagangan bebas yang terhenti pada tahun 2017 di era Presiden Rodrigo Duterte.

Hubungan kedua pihak membaik secara signifikan sejak Marcos Jr, menjadi presiden pada tahun 2022. Dia mengubah posisi Manila mendekat ke Barat, setelah pemerintahan sebelumnya di bawah Duterte yang cenderung lunak terhadap China. (rzn/as)/dw.com/id. []

Berita terkait
Presiden Marcos Perkuat Keamanan Maritim Filipina di Tengah Ketegangan dengan China
Klaim China tersebut bertentangan dengan klaim dari Filipina, Vietnam, Indonesia, Malaysia, dan Brunei