Jakarta banjir lagi, innalillahi wainnalillahi rojiun. Kasihan warga Jakarta, setiap tahun bergelut dengan bencana banjir. Semoga banjir segera surut dan kehidupan warga Jakarta segera pulih seperti sediakala. Amin ya robbal alamin. Banjir seolah menjadi trade mark bagi Jakarta. Salah siapa? Banjir kiriman dari Bogor? Semuanya serba mungkin, tinggal memainkan dan merangkai kata-kata saja, as usual. Lagian tidak perlu menyalahkan siapa-siapa, cari solusinya.
Beberapa waktu yang lalu, saya mendengar informasi, bahwa banjir Jakarta sudah terjadi sejak 1000 tahun yang lalu. Berapapun angka yang disebutkan, kayaknya masuk akal, melihat curah hujan, topografik dan jenis tanah Jakarta. Yang mengganjal di pikiran saya adalah dapat angka 1000 tahun yang lalu dari mana? Mengapa tidak 10.000 tahun yang lalu sekalian, agar kelihatan heboh dan bisa menjadi pembenaran permasalahan banjir di Jakarta?
Mending jadi Lurah, tapi kerjanya benar dan bertanggung jawab ke publik. Daripada Lurah mimpi jadi Presiden RI, bermodal prestasi amburadul. Shame!

Konon katanya, seharusnya, air hujan itu diresapkan atau dimasukkan ke tanah, bukan dibuang ke laut. Saya sudah sering mendengar argumen-argumen ini di media. Entah sebagai argumen yang rasional atau sekadar dagangan politik, saya tidak tahu. Anehnya, si air hujan, bandel, tetap saja memilih membanjiri jalan raya, rumah-rumah warga, lapangan sepak bola, diskotik, hotel, lokalisasi, tanpa kenal kompromi, tidak ada tebang pilih, tajam ke bawah atau tumpul ke atas, semuanya dibanjiri, hanya untuk antre menunggu masuk gorong-gorong, mengalir menuju laut. Salah siapa? The God knows better!
Yang pasti, solusi atas banjir di Jakarta harus didekati dengan konsep berpikir yang memenuhi asas-asas sebagai berikut.
1. Memahami permasalahan banjir Jakarta secara utuh: mengidentifikasi, mengenali dan mencari solusinya.
2. Membangun koordinasi yang lebih baik dengan instansi-instansi yang terkait.
3. Pola pikir, konsep dan pelaksanaannya harus bersifat sustainable.
Tidak mudah memang mengatasi banjir Jakarta, namun saya yakin banjir Jakarta bisa diatasi.
Kita tidak butuh kambing hitam, rangkaian kata-kata kelitan, tebar-tebar pesona, dan merasa paling pintar, dalam mengatasi banjir Jakarta. Padahal kenyataannya, tidak pintar sama sekali.
Mending jadi Lurah, tapi kerjanya benar dan bertanggung jawab ke publik. Daripada Lurah mimpi jadi Presiden RI, bermodal prestasi amburadul. Shame!
Ini adalah contoh konsekuensi atas sebuah pilihan.
Sekali lagi, saya sangat perihatin dengan banjir di Jakarta saat ini. Semoga ke depan lebih baik.
*Akademisi Universitas Gadjah Mada